Merantau Itu Berat, Tanpa ”Skill” Kamu Tak Akan Kuat
Selain harus pintar beradaptasi dan punya keahlian khusus, kesabaran dan ketekunan penting dimiliki pendatang Jakarta.
Meski peminatnya berkurang, Jakarta masih menjadi tujuan sejumlah perantau untuk mengadu nasib, terutama setelah Lebaran. Namun, ada banyak persiapan yang harus dilakukan agar sukses menjadi ”seseorang” di Jakarta. Keputusan untuk merantau juga sebaiknya dibarengi dengan keahlian yang dimiliki.
Banyak perantau saat mudik Lebaran ke kampung halaman sukses membawa harta dan cerita sukacita. Hal seperti ini pun memicu hasrat merantau bagi sebagian kerabat atau sanak saudara.
Seperti halnya Maya Septia (23), warga asal Semarang, Jawa Tengah. Sejak Selasa (16/4/2024), ia memutuskan untuk mencoba mencari pekerjaan di Jakarta, seperti halnya kakaknya yang lebih dulu bekerja di Jakarta.
Dengan berbekal ijazah Strata-1 di bidang akuntansi, Maya lebih dulu mencari lowongan pekerjaan secara daring. Ia juga sudah mendapatkan jadwal panggilan wawancara kerja di beberapa tempat.
Baca juga: Jakarta Tak Lagi Menarik Pendatang Baru Pasca-Lebaran
Menurut Maya, kesempatan untuk bekerja di kota besar lebih terbuka dibandingkan dengan di perdesaan. Di kota, jumlah lowongan kerja lebih beragam.
”Setidaknya kerabat atau tetangga tidak perlu tahu susah dan duka saya dalam mencari pekerjaan. Untuk dua bulan ke depan memang masih mendapat uang bulanan dari orangtua dan ngekos di tempat kakak,” katanya, Kamis (18/4/2024).
Maya juga menyiapkan mentalnya sebelum merantau. Selain itu, tujuan jangka pendek dan jangka panjang juga sudah ia pikirkan matang-matang.
Saat ini, Maya tinggal di kontrakan bersama kakak perempuannya di Jakarta Selatan dalam kamar yang berbeda. Namun, ia hanya diminta kakaknya untuk membayar Rp 1 juta per bulan.
Maya juga bersyukur masih mendapatkan jatah bulanan dari orangtuanya sebesar Rp 2 juta per bulan untuk biaya tempat tinggal dan kebutuhan hidup. Ia juga masih memiliki tabungan sekitar Rp 3 juta. Adapun untuk kebutuhan pangannya sudah terjamin berkat bantuan kakaknya.
”Namun, jika sampai tiga bulan belum mendapat pekerjaan, saya berencana balik kampung seperti permintaan orangtua. Tapi, sebenarnya saya ingin mencoba paling tidak hingga 6 bulan dengan dibarengi mencari pekerjaan freelance untuk sementara waktu sampai mendapatkan pekerjaan utama,” kata Maya.
Merantau ke Jakarta tanpa bekal memadai tidaklah mudah. Ha ini dialami Muhammad Fahmi (41), pedagang makanan di Jakarta Pusat. Mengambil hikmah dari pengalamannya selama 15 tahun terakhir merantau di Jakarta, ia tidak menyarankan para calon perantau berangkat ke Jakarta tanpa persiapan apa pun.
Sekitar 15 belas tahun yang lalu, Fahmi berangkat dari Solo, Jawa Tengah, untuk mengadu nasib di Jakarta. Berbagai pekerjaan pernah dijalani, seperti menjadi kurir hingga penjual keliling. Beruntung, saat ini ia terbilang sukses dengan memiliki dua warung makan yang laris pembeli dengan penghasilan mencapai dua digit per bulan.
”Pendatang di Jakarta, kan, dari seluruh wilayah Indonesia. Agar tidak kalah saing, kalau bisa sudah memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Harus punya modal dan bakat tertentu juga. Lalu, pendapatan yang diterima juga harus disesuaikan dengan pola hidup di kota. Kalau merantau, tapi gaji masih kurang, buat apa?” katanya.
Perantau yang tidak memiliki kemampuan apa pun, menurut Fahmi, hanya akan menyulitkan dirinya dan orang sekitar. Jika diterima bekerja pun, mereka juga akan menyulitkan para rekan kerjanya.
”Yang terpenting para perantau memiliki keahlian di bidangnya dan ada kemauan bekerja. Tanpa skill yang lebih unggul, perantau baru di Jakarta tidak akan dilirik,” ujarnya.
Selain memiliki keahlian atau pengalaman kerja, menurut dia, calon perantau juga setidaknya memiliki keluarga dan teman di Jakarta. Hal ini untuk membantu menampung mereka sementara waktu sebelum memiliki penghasilan sendiri.
Lain halnya dengan Riki Saputra (29) yang merantau di Jakarta sejak tahun 2019. Dari yang dialaminya. warga asal Surabaya, Jawa Timur, ini menyimpulkan, kunci agar bisa bertahan di Jakarta adalah pintar beradaptasi.
Menurut dia, pendatang biasanya sering tersisihkan jika kemampuan berkomunikasi dan pemahaman mengenai pola hidup di kota tidak dimiliki sejak awal. Padahal, mempelajari pola hidup di kota besar sebelum merantau dapat membantu pendatang untuk beradaptasi.
Pola hidup di kota metropolitan tidak bisa disamakan dengan pola hidup di kota kecil atau bahkan di perdesaan. Selain harus pintar beradaptasi dan memiliki keahlian khusus, kesabaran dan ketekunan menjadi modal penting yang wajib dimiliki bagi pendatang di Jakarta.
Tanpa skill yang yang lebih unggul, perantau baru di Jakarta tidak akan dilirik.
”Merantau di Jakarta dapat menjadi pengalaman yang menyakitkan jika perantau tidak mampu menghadapi beragam rintangan. Belum lagi banyak perantau yang sulit membangun komunikasi dengan penduduk setempat karena kultur dan gaya bicara yang berbeda,” kata pegawai bank di Jakarta Pusat ini.
Memaksimalkan potensi daerah
Di sisi lain, ketimbang memilih merantau ke Jakarta untuk mencari mata pencarian, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, berpendapat, warga sebaiknya memaksimalkan potensi daerah.
”Bagi mereka yang punya banyak keterbatasan, lebih baik membangun desa atau tempat tinggal asal daripada merantau,” kata Yayat.
Langkah ini lebih baik daripada mencoba nekat ke kota lain yang tidak menjamin sebuah kesuksesan. Hidup di Jakarta bagi para pendatang terbilang berat jika belum memiliki kemampuan tertentu.
Baca juga: Dua Gelombang Arus Balik Lebaran 2024
Maka dari itu, Yayat pun meminta Pemerintah Provinsi DKI untuk mengingatkan para pendatang bahwa Jakarta tidak seindah seperti yang ada di sinetron atau film.
Ia melihat, jenis profesi ojek daring merupakan salah satu incaran para pendatang Jakarta setelah Lebaran tahun ini. Sebab, pekerjaan informal seperti ojek daring tidak membutuhkan kemampuan tertentu, serta hanya bermodalkan ponsel dan sepeda motor. ”Terlebih, Jakarta membutuhkan beragam moda transportasi untuk memudahkan mobilitas masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, adanya persaingan mendapatkan pekerjaan di Jakarta turut membuat masyarakat yang berasal dari keluarga prasejahtera kurang mampu bersaing. Yayat menilai alasan masyarakat yang memilih menjadi pekerja informal di Jakarta lantaran tidak memiliki latar belakang pendidikan maupun pengalaman tertentu.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, lonjakan perantau pasca-Lebaran bukan fenomena baru. Sebab, akar permasalahan migrasi dari desa ke perkotaan ialah faktor ekonomi.
Maka dari itu, ia menilai, seharusnya pembangunan ekonomi di daerah harus lebih ditingkatkan agar merata. Hal ini juga dapat menekan ketergantungan dan ketimpangan antara daerah dan kota besar.
”Selama ini orang melihat Jakarta sebagai sumber penghidupan lapangan pekerjaan. Jika pemikiran itu masih melekat, pembangunan di daerah tidak akan bisa lebih maksimal dan akan terus terjadi ketergantungan antara daerah dan kota besar,” tuturnya.
Di sisi lain, Rakhmat melihat, saat ini pekerjaan yang sedang digandrungi para perantau ialah sektor informal. Adapun yang sedang berkembang pesat ialah usaha kuliner dan fashion kreatif.
”Seperti tempat makan dan kedai kopi. Itu sebenarnya memiliki potensi daerah yang besar. Kalau bisa digenjot lagi di daerah asal, itu bisa mengurangi ledakan imigrasi,” kata Rakhmat.
Biaya hidup tinggi
Sebelumnya, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta merinci tren jumlah pendatang pasca-Lebaran selama empat tahun terakhir yang menurun. Pada 2020 tercatat ada 24.043 pendatang, kemudian turun menjadi 20.046 pendatang pada 2021. Pada 2022, jumlah pendatang sempat meningkat menjadi 27.478 orang, tetapi kembali turun menjadi 25.918 pendatang pada 2023.
Adapun Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaludin memperkirakan jumlah pendatang baru ke Jakarta pada momen pasca-Lebaran 2024 akan menurun jika dibandingkan dengan 2023, yakni sekitar 10.000-15.000 orang.
Meski begitu, Budi menilai tidak masalah dengan berkurangnya jumlah pendatang ke Jakarta. Ia bahkan mengimbau para pendatang agar memastikan diri sudah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang layak di Jakarta. Warga yang mudik juga diharapkan tidak membawa sanak saudara atau kerabat dari kampung halaman ke Jakarta jika tanpa kepastian hidup.
”Warga yang ingin mencoba datang ke Jakarta dengan beberapa alasan lainnya agar secara sadar untuk dapat mempersiapkan diri, seperti keahlian atau skill dengan jaminan kerja dari pemberi kerja serta tempat tinggalnya jika menetap di Jakarta nantinya,” tutur Budi (Kompas.id, Rabu (17/4/2024).
Terkait dengan hal ini, Yayat menilai, biaya hidup tinggi menjadi faktor menurunnya jumlah pendatang baru atau warga yang merantau ke Jakarta setelah Lebaran tahun ini.
Baca juga: Aktivitas Mudik Lebaran Meningkatkan Polusi Udara
”Banyak pemudik yang tidak mau membawa keluarga lagi ke Jakarta karena mereka sendiri sudah tertekan dengan biaya hidup yang makin lama makin mahal,” katanya.
Ia merinci, untuk biaya makan di Jakarta saja bisa menghabiskan Rp 3 juta per bulan. Bahkan, hal itu belum mencukupi segala kebutuhan lainnya. Untuk itu, bagi perantau yang hanya mendapatkan gaji sekitar Rp 4 jutaan saja pasti tidak akan cukup.
”Biasanya perantau dengan gaji sekitar Rp 4 jutaan akan memilih hidup di kos atau kontrakan murah. Satu kontrakan bisa diisi beberapa orang untuk menghemat biaya,” ujarnya.
Selain itu, Yayat juga menyoroti fakta baru mengenai banyaknya warga yang memiliki KTP Jakarta, tetapi tidak tinggal di Ibu Kota. Ini pula yang mendorong dilakukannya penonaktifan nomor induk kependudukan (NIK) KTP Jakarta.
Menurut dia, banyak warga memilih hidup di kota sekitar Jakarta untuk menekan biaya. ”Adanya kemudahan transportasi umum dari kota penyangga ke Jakarta bisa memudahkan perantau yang masih bekerja di Jakarta. Mereka masih bisa menggunakan kendaraan pribadi hingga transportasi umum, seperti KRL dan bus, daripada mereka tinggal di Jakarta,” kata Yayat.
Hidup di Ibu Kota memang tidak semudah yang dibayangkan, apalagi jika tidak punya keahlian yang relevan dengan kebutuhan metropolitan.