Menjadi Kota Global, Jakarta Wajib Penuhi Parameter Ekonomi Mapan Tingkat Dunia
Jakarta berstatus kota global sejak globalisasi ekonomi kontemporer 1970-an sebagai penghubung dengan ekonomi dunia.
Jakarta harus memenuhi parameter ekonomi yang mapan dan terkoneksi secara global. Parameter itu di antaranya riset dan inovasi berkapasitas, pariwisata dan budaya menarik kunjungan wisatawan, lingkungan bersih dan nyaman, serta akses memadai agar tetap dilihat oleh penilai kota-kota besar dunia.
Keharusan di atas diutarakan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dalam musyawarah perencanaan pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah DKI Jakarta Tahun 2025-2045, Selasa (23/4/2024).
Jakarta harus memenuhi parameter tersebut seiring pindahnya ibu kota negara ke Nusantara, Kalimantan Timur. Pasca-ibu kota negara, Jakarta akan menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global.
Ketentuannya tertuang dalam UU Daerah Khusus Jakarta yang disetujui dalam Rapat Paripurna DPR Ke-14 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024, Kamis (28/3/2024). Dalam draf UU itu, pusat perekonomian nasional ialah pusat ekonomi dan bisnis nasional berskala global yang menopang pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Baca juga: Tak Lagi Ibu Kota, Jakarta Tetap Menarik bagi Investor
Kota global berarti kota penyelenggara kegiatan internasional di bidang perdagangan, investasi, bisnis, pariwisata, kebudayaan, pendidikan, kesehatan serta lokasi kantor pusat perusahaan dan lembaga nasional, regional, internasional, serta pusat produksi produk strategis internasional sehingga menciptakan nilai ekonomi yang besar bagi Jakarta dan daerah sekitar.
”Sejak era dimulainya globalisasi ekonomi kontemporer tahun 1970-an, status Jakarta sebenarnya sudah kota global. Minimal sebagai gateway Indonesia, yaitu menghubungkan Indonesia dengan ekonomi global,” kata Ketua Kelompok Riset Dinamika Perkotaan-Perdesaan Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Galuh Syahbana Indraprahasta, Rabu (24/4/2024).
Istilah kota global sudah hadir dalam diskursus akademik sejak tahun 1990. Definisinya kota yang menjadi pusat penting dalam mengatur pengorganisasian ekonomi global. Contohnya, New York, London, dan Tokyo.
Galuh mengatakan, dalam kurun 10-15 tahun terakhir ini istilah kota global menjadi alat pemasaran yang dipromosikan oleh lembaga konsultan internasional dan beberapa pemimpin kota. Kriterianya berbeda-beda, tetapi umumnya bertumpu pada sektor jasa global (keuangan, manajemen, dan hukum), menjadi lokasi kantor pusat perwakilan bagi banyak perusahaan transnasional, dan didukung oleh infrastruktur penghubung global, seperti bandara dan pelabuhan skala internasional
”Dalam konteks Jakarta, globalitas tidak akan hilang meskipun status ibu kota berpindah. Tinggal memikirkan ekses dari globalisasi ekonomi terhadap internal Jakarta dan wilayah sekitarnya,” ujar Galuh.
Ekses bagi Jakarta antara lain penyediaan lapangan kerja yang berkualitas, lebih ramah lingkungan atau rendah karbon, adil untuk semua golongan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan infrastruktur yang lebih baik.
Baca juga: Eksistensi Jakarta Setelah Tak Lagi Ibu Kota
Di sisi lain, ekses bagi sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau wilayah aglomerasi Jabodetabekjur) adalah penguatan (komitmen) kerja sama karena peluang beralihnya fungsi Jakarta ke aglomerasi. Salah satunya universitas dan kantor perwakilan asing pindah ke BSD City, Tangerang Selatan, atau mempertahankan kawasan lindung di hulu, tengah, dan pesisir dengan mekanisme dana hibah ataupun sejenisnya.
Kawasan aglomerasi
Dalam draf UU Daerah Khusus Jakarta, kawasan aglomerasi saling terkait secara fungsional, dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah terintegrasi sekalipun berbeda dari sisi administratif sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global.
Kawasan aglomerasi ini menjadi bab tersendiri, Bab IX Kawasan Aglomerasi, dalam UU tersebut. Keberadaannya untuk sinkronisasi pembangunan Jakarta dengan daerah sekitar.
Sinkronisasi ini mencakup dokumen rencana tata ruang dan perencanaan pembangunan kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota dalam cakupan kawasan aglomerasi. Program dan kegiatannya minimal mencakup transportasi, pengelolaan sampah, pengelolaan lingkungan hidup, penanggulangan banjir, pengelolaan air minum, pengelolaan bahan berbahaya dan beracun maupun limbahnya, infrastruktur wilayah, penataan ruang, dan energi.
Selanjutnya dewan kawasan aglomerasi ditunjuk oleh presiden untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional kawasan aglomerasi dan dokumen rencana induk pembangunan, serta memantau dan mengevaluasi program dan kegiatan oleh kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah.
Baca juga: Warga Jakarta Ingin Ikut Tentukan Nasib Kotanya
Selain itu, Pasal 57 memungkinkan kerja sama pembentukan badan layanan bersama untuk layanan lintas daerah atau berdampak lintas daerah di kawasan aglomerasi. Badan layanan ini merupakan badan hukum yang berhak mempunyai kekayaan sendiri, mengelola anggaran dan pegawai sendiri, serta bekerja sama dengan pihak lain.
Pembentukannya ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. Sumber pendapatannya dari APBD, pendapatan sendiri, dan penerimaan lain yang sah.
Nantinya badan layanan bersama dipimpin oleh kepala badan dan wakil kepala badan. Proporsi suara kepala daerah dalam pemilihan kepala dan wakil kepala badan ditentukan berdasarkan proporsi modal atau saham masing-masing daerah.
Mereka didukung dewan pengawas. Tugasnya memberikan persetujuan atas kebijakan dan anggaran badan layanan, mengawasi operasionalisasi, dan keuangan badan layanan. Dewan pengawas dibantu satuan pengawas internal.
Diperlukan upaya yang lebih kuat agar kawasan aglomerasi ini tetap vital secara ekonomi, tetapi menjawab isu yang menjadi perhatian
Tak hanya dua lembaga ini, Pasal 59 mengatur Jakarta dalam kerja sama wajib antardaerah dengan daerah sekitar untuk meningkatkan penyelenggaraan pengelolaan perkotaan dan daerah berbatasan di sekitarnya. Kerja sama ini guna memadukan pembangunan antarwilayah dan antarsektor.
Cakupannya minimal perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian jaringan prasarana perkotaan (drainase, air limbah, dan persampahan), sistem transportasi terpadu dan massal, sumber daya air, pengendalian banjir dan rob secara terintegrasi, pencemaran udara dan air, serta pelaksanaan kegiatan bersama untuk mendukung kebutuhan pelayanan perkotaan.
Seluruh kerja sama wajib tersebut dikoordinasikan oleh pengelola DKJ bersama dengan menteri yang secara teknis membidangi urusan terkait. Kerja sama juga diikuti sinkronisasi perencanaan dan penganggaran antardaerah dalam rangka pelaksanaan kerja sama wajib yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah.
Menurut Galuh, aglomerasi sudah menjadi fenomena umum di Indonesia. Justru isu yang menjadi perhatian adalah implikasi dari urbanisasi yang tidak terkendali pada turunnya kualitas lingkungan hidup, segregasi sosial-ekonomi, dan fragmentasi pelayanan publik.
”Diperlukan upaya yang lebih kuat agar kawasan aglomerasi ini tetap vital secara ekonomi, tetapi menjawab isu yang menjadi perhatian,” ucap Galuh.
Ada sejumlah catatan darinya untuk dewan kawasan aglomerasi, badan layanan bersama, dan kerja sama wajib. Kelembagaan baru memerlukan komitmen eksekusi oleh seluruh pemerintah daerah, tidak menambah friksi vertikal pemerintah pusat dan daerah, memegang semangat desentralisasi dan demokratisasi untuk checks and balances, serta inovasi dalam tata kelola dan pelayanan perkotaan.
Baca juga: UU Daerah Khusus Jakarta Mengesampingkan Pemulihan Ekologis
Pemerintah pusat semestinya mengambil peran yang lebih bijak dengan alokasi anggaran lebih besar untuk program strategis/prioritas, mendukung keberlanjutan aglomerasi, dan perlu kesepakatan terkait area/sektor mana yang dijadikan prioritas lima tahun pertama, kedua, dan seterusnya.
Perlu juga pemahaman pembagian fungsi masing-masing daerah, pengambilan kebijakan harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi antara pusat dan daerah agar dapat melihat berbagai pandangan, serta pemerintah pusat berperan menjaga komitmen semua pihak atas apa yang sudah disepakati.
Sumber daya manusia
Dalam musyawarah perencanaan pembangunan, Selasa kemarin, Heru menyampaikan bahwa perubahan kewenangan melalui UU Daerah Khusus Jakarta mengacu pada indeks kota global dan rencana tata ruang wilayah.
Perubahan akan diimplementasikan dalam dokumen perencanaan jangka pendek, panjang, menengah, dan panjang. Implementasinya menghadapi tantangan, seperti keterbatasan APBD, perubahan paradigma kegiatan berstandar internasional, dan penciptaan kegiatan ekonomi perkotaan baru untuk mewujudkan kota global yang kompetitif.
Heru mengatakan, Jakarta juga membutuhkan sumber daya manusia unggul, produktif, dan sejahtera dalam menghadapi tantangan. Sumber daya manusia ini untuk mewujudkan stabilitas dan tangguh di kancah global.
”Meratanya pembangunan, berkeadilan, infrastruktur berkualitas, dan ramah lingkungan mesti didukung SDM unggul, produktif, dan sejahtera. Dengan demikian, pada tahun 2045, Jakarta mampu bersaing dengan kota global lain,” kata Heru.