Ramai-ramai Lari ke Bogor untuk Sampaikan Aspirasi
Ketika pelari membawa misi. Mereka menempuh ratusan kilometer untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Puluhan pelari dari beragam komunitas lari di Jawa Barat berkumpul di Kota Bogor, Jawa Barat. Mereka menempuh belasan bahkan ratusan kilometer sembari membawa pesan penting yang diserap dari curhatan para pelari dan masyarakat pada umumnya.
Dengan bercucuran keringat, Shandy Yoga (22) tiba di Tugu Kujang, Minggu (28/4/2024). Bersama empat rekannya, Shandy telah berlari dari Gedung Sate, Bandung menuju ke Tugu Kujang, Kota Bogor, sejauh 100 kilometer (km) dalam waktu sekitar 26 jam.
”Akhirnya kita telah sampai di depan Tugu Kujang, Kota Bogor,” tulis Shandy di media sosial Instagram seusai tiba di Bogor.
Kedatangannya langsung disambut antusias para pelari lain yang telah tiba lebih dulu. Mereka datang dari sejumlah daerah di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Sukabumi.
Bagi Shandy, berlari sejauh ratusan kilometer telah menembus batas kemampuannya. ”Selama ini saya hanya berlari paling jauh sekitar 26 km. Rute ini merupakan jarak lari terjauh yang pernah saya tempuh selama delapan tahun saya mulai menggeluti lari,” kata Shandy.
Di sepanjang perjalanan, sejumlah peristiwa telah Shandy alami. Mulai dari lintasan menanjak yang curam di kawasan puncak, diguyur hujan deras, hingga keram kaki di tengah perjalanan. Namun, itu tidak menjadi halangan, sebaliknya menjadi pelecut semangat untuk tetap menuntaskan misinya.
Baginya, lari adalah cara jitu untuk menjaga kebugaran dan stamina. ”Dengan lari, saya bisa tahu masalah apa saja yang ada di daerah yang saya lewati,” kata mahasiswa Universitas Widyatama, Bandung, tersebut.
Beruntung, Shandy ditemani oleh rekan yang sudah lebih berpengalaman sehingga larinya pun berlangsung cukup aman.
Baca juga: Sangat Sedikit Ruas Jalan di Jakarta yang Punya Trotoar
Setibanya di Tugu Kujang, Sandy dan puluhan pelari lainnya berencana bertemu dengan Ketua Asosiasi Lari Trail Indonesia (ALTI) Bima Arya di kediamannya di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur. Mereka hendak menyampaikan sejumlah keluhan serta aspirasi dari para pelari dan warga pada umumnya.
Kedatangan mereka pun langsung disambut oleh Bima yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Bogor dua periode (2014-2024). ”Saya tidak menyangka ada yang berlari hingga ratusan kilometer untuk menemui saya,” kata Bima.
Tidak ragu, para pelari langsung menyampaikan aspirasinya. Dimulai dari Shandy yang meminta agar pemerintah memperhatikan Rancaekek, Kabupaten Bandung, yang kaya akan potensi atlet di bidang atletik, tetapi miskin fasilitas olahraga.
”Kami hanya berlatih dengan fasilitas seadanya. Padahal, minat generasi muda pada cabang olahraga atletik sangatlah besar,” katanya.
Fasilitas mumpuni memang telah ada di sejumlah universitas yang berdiri di wilayah itu. Namun, sarana tersebut bukanlah untuk masyarakat umum, melainkan hanya untuk mahasiswa yang ada di dalamnya.
Aspirasi lainnya juga disampaikan oleh Rivan Maulana (24), pelari dari Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Dia mengeluhkan banyaknya angkutan (truk) tambang yang melintas tidak pada waktunya.
Kondisi ini sangat membahayakan pelari dan pejalan kaki. ”Kami merasa terancam. Selain karena kendaraan besar, polusi yang ditimbulkan pun sangat menyesakkan,” katanya.
Situasi ini sudah berlangsung lama, tetapi tidak ada tindakan signifikan dari pemerintah setempat. Dia berharap pertemuan kali ini bisa menghasilkan solusi permanen sehingga angkutan tambang tidak lagi beroperasi di waktu yang bukan seharusnya.
Keluhan juga disampaikan Neni Rohaeni (42), pelari dari Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Dia menyampaikan kondisi jalan akses yang rusak di sejumlah titik. Pantai Loji yang indah pun kini kembali tertimbun sampah yang mengganggu mata dan baunya yang sangat menyengat. ”Dulu sudah pernah dibersihkan. Namun, sampah tetap saja ada karena terbawa air laut,” katanya.
Baca juga: Trotoar ”Instagramable” di Depok Diokupasi Kendaraan Bermotor
Situasi ini tentu bisa menutupi pesona Palabuhanratu dengan berbagai kekayaan alam dan potensi pariwisatanya. Apalagi di Sukabumi juga terdapat kawasan wisata Ciletuh-Palabuhanratu Geopark yang sudah mendunia.
”Andai saja tempat ini dikelola dengan baik, saya yakin (Ciletuh-Palabuhanratu Geopark) bisa menjadi lokasi penyelenggaraan event lari berskala nasional hingga internasional,” kata Rohaeni yang sudah enam tahun bergabung di komunitas lari bernama Kokojo Run.
Bima yang mendengar keluhan itu akan berupaya menampung aspirasi tersebut dan menyampaikannya kepada bupati dan wali kota terkait bila waktunya tiba. Tujuannya, agar masalah ini dapat diselesaikan segera.
”Melihat visi yang kuat dari para pelari. Saya menjadi lebih semangat,” kata Bima yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia periode 2021-2023.
Menurut Bima, lari tidak sekadar olahraga, tetapi menjadi wadah untuk menyerap aspirasi. ”Dengan lari, saya bisa ’belanja masalah’ dari masyarakat. Dari lari, saya juga mendapatkan inspirasi,” kata Bima.
Dia menyadari keberadaan infrastruktur yang memadai menjadi hal yang penting untuk mendukung aktivitas masyarakat, termasuk menggalakkan gaya hidup sehat. ”Hampir setiap hari saya berlari setidaknya satu jam sehari. Jika tidak lari, rasanya ada yang kurang,” ucap Bima.
Lebih sehat
Namun, bagi Tomas, usia hanya angka. Kakek dari tiga cucu ini masih mampu berlari dengan jarak 20 kilometer dari Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, menuju ke Tugu Kujang.
Para pelari berharap aspirasi itu dapat diwujudkan. Butuh komitmen dari semua pihak untuk mewujudkan hal itu.
Lari puluhan kilometer sudah menjadi santapan Tomas setiap hari. ”Dalam sehari, saya bisa menghabiskan waktu hingga 2 jam untuk berlari. Jika di akhir pekan pun, saya bisa lari hingga 4 jam,” kata Tomas yang sehari-hari bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu perusahaan swasta ini.
Selain berlari, Tomas pun menjaga pola hidup sehat, seperti tidak makan malam ataupun merokok dan tidak minum kopi. ”Hasilnya, sampai sekarang saya tidak pernah sakit. Selalu bugar,” ucapnya.
Dengan terus semangat berlari, ia berharap bisa menjadi contoh bagi generasi muda untuk mulai menggalakkan gaya hidup sehat. ”Dengan cara hidup sehat, kita akan jauh lebih produktif,” ujarnya.
Para pelari berharap aspirasi itu dapat diwujudkan. Butuh komitmen dari semua pihak untuk mewujudkan hal itu.
Pegiat lari asal Bandung, Jejen Mutakin (34), membandingkan Indonesia dengan Singapura. Di Singapura, para pelari memiliki tempat yang cukup memadai. Banyak ruang publik dan trotoar yang lebar.
Situasi itu berbeda dengan Indonesia yang sarana untuk pelari atau warganya untuk berjalan santai cukup minim, bahkan membahayakan. ”Kalau tidak hati-hati, kita bisa cedera atau bahkan celaka,” ucapnya.
Dengan memperbaiki sarana, minat berolahraga akan datang dengan sendirinya. ”Yang utama adalah senang dulu. Bagaimana warga mau senang olahraga jika sarananya tidak ada,” ucap Jeje.