Buruh Tuntut Cabut UU Cipta Kerja hingga Perlindungan Mitra Pekerja
Dalam aksi memperingati May Day, buruh mendesak pemerintah menghapus kekerasan dan pelecehan di lingkungan pekerjaan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ribuan buruh berunjuk rasa memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day, Rabu (1/5/2024). Dalam unjuk rasa di seputaran Patung Arjuna Wijaya, dekat Monumen Nasional, ini, buruh menuntut pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja, pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, penolakan upah murah, penghapusan sistem kerja alih daya, dan perlindungan pekerja dalam hubungan kemitraan.
Buruh memadati kawasan ini sejak pukul 08.00 WIB. Mereka datang dalam rombongan dengan bus ataupun berjalan kaki.
Buruh membawa berbagai poster berisi unek-unek, seperti mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Poster-poster itu juga menyuarakan negara gagal menghadirkan keadilan bagi pekerja, ganyang kapitalis birokrat, dan bongkar mafia ketenagakerjaan.
”Hidup perempuan Indonesia,” pekik seorang orator dari mobil komando Aksi Perempuan Indonesia.
”Bayar kerja perempuan dengan layak,” jawab peserta aksi.
Mereka lalu mengangkat tinggi-tinggi kain merah dan poster berisi unek-unek sambil meniup peluit. Hal ini berlangsung selama 10 detik.
”Hidup perempuan. Hidup buruh,” teriak peserta aksi.
Aksi diakhiri dengan goyang kewer-kewer. Peserta semangat berjoget di bawah terik dan panasnya Jakarta demi menyuarakan hak-hak sebagai buruh.
Bayar kerja perempuan dengan layak.
”Kain merah dan peluit sebagai tanda atau peringatan bagi penguasa (pemerintah) karena kondisi sudah darurat. Buruh, khususnya perempuan, mengalami diskriminasi dan kekerasan,” kata wakil koordinator lapangan Aksi Perempuan Indonesia, Salsa.
Sama seperti aliansi atau serikat buruh lain, Aksi Perempuan Indonesia menginginkan penghapusan eksploitasi di tempat kerja dan pemberian upah buruh yang layak.
Di sisi lain, sekitar 100 peserta aksi ini memendam kekecewaan lantaran akses ke Istana Presiden diblokade oleh petugas keamanan. Mereka menyayangkan hal tersebut karena aksi ini tidak aneh-aneh. Mereka hanya ingin menyampaikan tuntutan atau aspirasi.
”Paling tidak hak kami sampai ke penguasa. Tapi, ini dihalangi. Bisa diartikan pemerintah memang belum mau menyambut aspirasi kami,” ucapnya.
Dalam peringatan May Day ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja dan penghapusan alih daya serta menolak upah murah.
Presiden KSPI Said Iqbal menyebutkan, nilai riil penerapan upah minimum cenderung menurun dari tahun ke tahun. Persentase kenaikan upah minimum juga cenderung selalu di bawah inflasi. Selain itu, di beberapa kota industri, kenaikan upah minimum nyaris tidak ada.
Sejumlah perusahaan juga mudah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan tetap. Sebagai gantinya, perusahaan merekrut karyawan alih daya dengan upah lebih murah.
Praktik sistem kerja alih daya saat ini semakin marak. Apalagi, tidak ada batasan jenis pekerjaan yang jelas.
Hal-hal tersebut mendasari tuntutan KSPI. Selain berunjuk rasa di Patung Arjuna Wijaya, massa aksi akan bergeser ke Stadion Madya Gelora Bung Karno, Senayan.