Kematian Siswa Taruna STIP, Butuh Penanganan Serius Kekerasan di Sekolah
Dunia pendidikan Indonesia tidak hanya menghadapi masalah ketertinggalan mutu dan kesenjangan, tapi juga kekerasan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024, kekerasan di institusi pendidikan kembali terjadi. Kematian seorang siswa taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang diduga dianiaya seniornya merupakan puncak gunung es tingginya kasus kekerasan di dunia pendidikan.
Seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Marunda, Jakarta Utara, diduga tewas dianiaya seniornya pada Jumat (3/5/2024), di kampus. STIP merupakan sekolah kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan. Kasus kekerasan beberapa kali dilaporkan, terutama dilakukan senior terhadap yunior.
Kekerasan di dunia pendidikan yang terus berulang, bahkan menyebabkan kematian, menjadi sorotan publik. Saat ini penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan ditangani satuan tugas atau tim pencegahan dan penanganan kekerasan satuan pendidikan melibatkan pemerintah daerah.
Sejak tahun lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengevaluasi penyelenggaraan perguruan tinggi kementerian lain atau lembaga pemerintah nonkementerian (PTKL), tetapi belum mencakup soal kekerasan.
”Evaluasi tidak pada aspek di luar hal tersebut,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kiki Yuliati, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (4/5/2024), ketika ditanya apakah evaluasi mencakup juga di luar akademik seperti soal kekerasan.
Menurut Kiki, evaluasi tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022. Peraturan itu mengenai penyelenggaraan perguruan tinggi oleh kementerian lain dan lembaga pemerintah nonkementerian (PTKL).
Evaluasi ini untuk memastikan program studi pendidikan vokasi yang diadakan PTKL tak tumpang tindih dengan program studi sejenis di bawah Kemendikbudristek atau Kementerian Agama. Mahasiswa di PTKL kedinasan berasal dari pegawai negeri dan calon pegawai negeri, sedangkan mahasiswa PTKL nonkedinasan dari masyarakat umum.
Evaluasi tidak pada aspek di luar hal tersebut.
Kiki menambahkan, tiap-tiap bidang studi atau keahlian mempunyai proses pembelajaran dan pembinaan berbeda dengan bidang studi lain. ”Persoalan perundungan atau kekerasan bukan hanya akibat bentuk pendidikan atau jenis bidang studi tertentu,” kata Kiki.
Cegah kekerasan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menyatakan prihatin atas tingginya kasus kekerasan di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek ataupun Kementerian Agama. Bahkan, untuk satuan pendidikan di bawah Kemenag sampai menimbulkan korban jiwa.
FSGI mencatat pada 2022 ada 26 kasus kekerasan berat, bahkan sampai meninggal di satuan pendidikan yang sampai ke ranah hukum. Angka itu meningkat pada tahun 2023, yakni 30 kasus yang 80 persennya terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek.
”Kami mengapresiasi Kemendikbudristek yang berupaya mengatasi kekerasan di satuan pendidikan melalui Peraturan Menteri Dikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, serta melakukan sosialisasi dan pelatihan pada banyak sekolah,” ujar Heru.
Sementara itu, psikolog dan dosen di Departemen Psikologi Universitas Brawijaya Unita Werdi Rahajeng menyarankan setiap sekolah dibentuk tim TPPK (tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan). Tim tersebut sebaiknya terdiri dari tim pendidik/tenaga kependidikan dan perwakilan orangtua/komite.
Tim ini memiliki tugas untuk membuat sistem atau program dan saran untuk pencegahan kekerasan. Selain itu, mereka dilibatkan dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus perundungan serta berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait.
Dalam acara Komunitas Guru Satkaara Berbagi berkolaborasi dengan Rumah Guru Bimbingan Konseling dan Indonesia Student and Youth Forum, Unita menjelaskan empat strategi pencegahan dan penanganan perundungan, yakni hentikan saat itu juga, selidiki kejadiannya, berikan dukungan, dan tindak lanjuti.
Unita tidak menyarankan mediasi pelaku dan korban serta saksi, untuk menyelidiki detail kejadian ataupun mendamaikan keduanya. Selain itu, ia tidak menyarankan menghukum pelaku di depan umum. ”Penanganan jangan hanya diberikan saat kejadian tanpa tindak lanjut,” ujarnya.