Perlu Kolaborasi Lintas Sektor Hadapi Tantangan Trilema Energi
Kerja sama dan dukungan berbagai sektor, termasuk akademisi, diperlukan untuk mengatasi tantangan transisi energi.
BANDUNG, KOMPAS — Pendanaan, teknologi, hingga sumber daya manusia masih menjadi tantangan realisasi program transisi energi di Indonesia. Kerja sama dan dukungan dari berbagai sektor, termasuk akademisi, diperlukan untuk mengatasi tantangan dengan lebih cepat.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, industri energi di Indonesia saat ini tengah berhadapan dengan trilema energi, yakni isu ketahanan energi, keterjangkauan biaya energi, dan keberlanjutan lingkungan. Pihaknya berperan besar untuk menjawab tantangan tersebut, sekaligus menangkal ancaman global karena faktor geopolitik dan fluktuasi pasar yang terus berlanjut.
”Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam kaitannya dengan energi semakin sulit. Kita semua harus bergerak bersama karena tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah atau perusahaan saja. Pihak akademisi juga memiliki andil yang besar. Perlu kontribusi dari semua pihak, termasuk dari mahasiswa yang akan menjadi masa depan bangsa,” kata Nicke dalam acara Pertamina Goes to Campus 2024 di Institut Teknologi Bandung, Senin (6/5/2024).
Baca juga: Indonesia Harus Ambil Peluang dalam Transisi Energi
Setiap negara mempunyai cara yang berbeda dalam merespons trilema energi tersebut. Sebagai contoh, negara-negara maju lebih fokus pada keberlanjutan, sementara negara-negara berkembang lebih fokus pada keamanan dan keterjangkauan energi karena hal tersebut merupakan katalis pertumbuhan ekonomi.
Nicke menyebutkan, untuk memanfaatkan potensi penting Indonesia, Pertamina memainkan tiga peran penting dalam membentuk lanskap energi. Pertama, memastikan ketahanan energi Indonesia dengan meningkatkan kapasitas pasokan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, peran kedua, memobilisasi sumber daya domestik untuk mengurangi defisit perdagangan minyak dan gas dengan meningkatkan penggunaan sumber energi domestik. Ketiga, melakukan dekarbonisasi, efisiensi energi, dan transisi energi, dengan target Emisi Net Zero (NZE).
Beberapa strategi yang pihaknya lakukan ialah mengoptimalkan produksi hulu dan meningkatkan produksi kilang Pertamina sehingga dapat menurunkan impor. Kemudian, Pertamina juga memperkuat penggunaan transisi energi, seperti pemanfaatan jaringan gas kota, peningkatan kapasitas tenaga panas bumi (geotermal), dan penggunaan sumber daya nabati, termasuk biofuel.
Pertamina juga mengoptimalkan seluruh sumber daya manusianya untuk menjalankan berbagai strategi. Namun, hal ini tidak akan berjalan tanpa dukungan semua pihak, termasuk kolaborasi dengan sektor akademisi.
Namun, Nicke mengakui ada hambatan yang dihadapi Indonesia dalam mempercepat transisi energi. Faktor-faktor seperti akses ke pembiayaan yang kompetitif, kemajuan teknologi, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia masih menjadi tantangan. Untuk itu, Nicke menegaskan pentingnya dukungan yang tepat dari berbagai pihak.
”Human capital Indonesia dalam mengembangkan transisi energi masih tertinggal. Digitalisasi harus ditingkatkan. Masalah energi tidak lagi sesimpel dulu. Bumi memerlukan treatment lebih,” kata Nicke.
Adapun Pertamina secara internal terus mengembangkan inovasi teknologi yang dilakukan melalui riset dan inovasi teknologi untuk mendorong transisi energi berkelanjutan. Sementara secara eksternal, perseroan terus melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk mengajak generasi muda untuk berperan aktif dalam inovasi dan transisi energi.
Baca juga: Komitmen Indonesia Akan Transisi Energi Dinilai Melemah
Generasi muda
Salah satu hal yang dilakukan Pertamina untuk meningkatkan pemahaman serta dukungan generasi muda mengenai transisi energi ialah melalui edukasi di level universitas. Sebab, mahasiswa sebagai generasi muda akan meneruskan pengelolaan energi.
Edukasi ini dilakukan melalui berbagai kegiatan, salah satunya Pertamina Goes to Campus 2024 (PGTC) yang bakal digelar di 15 universitas di Indonesia di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Rangkaian kegiatan PGTC dimulai di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai Kick Off PGTC.
PGTC merupakan inisiatif Pertamina untuk melakukan diskusi dan pengenalan tentang peran Pertamina dalam sektor energi dan pembangunan kepada seluruh kalangan sivitas akademika. Melalui PGTC, mahasiswa dapat mendukung pemangku kepentingan untuk menjaga tata kelola energi di Indonesia.
Nicke berharap kegiatan ini dapat membangun kesadaran, meningkatkan keterlibatan, serta memfasilitasi kolaborasi antara perusahaan dan sektor akademisi. Kemudian, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berinteraksi langsung dengan para profesional dan ahli industri energi serta memperluas pengetahuan dan wawasan mereka tentang tantangan dan peluang dalam bidang energi.
PGTC 2024 menurut rencana akan digelar hingga September 2024. Acara ini memiliki tiga kegiatan utama. Pertama, energizing talks berupa rangkaian keynote speech, panel discussions, dan innovation insights pada sektor energi, teknologi, ekonomi, dan sosial.
Kedua, Pertamina Exhibition Clusters, yaitu penampilan area dan kegiatan aktivasi program atau unit bisnis Pertamina atau prestasi perguruan tinggi dalam bentuk booth atau paviliun. Ketiga, Sustainability Competition yang dibagi menjadi dua, yaitu kompetisi esai dan kompetisi video, yang bertujuan menggugah minat serta edukasi generasi muda terhadap industri energi ramah lingkungan.
Kami harap sinergi ITB dan Pertamina semakin kuat dan kerja sama semakin meningkat, khususnya mengenai pemanfaatan biodiesel.
Direktur SDM PT Pertamina Erry Sugiharto mengatakan, akademisi berperan dalam pengembangan transisi energi, antara lain membantu melalui penelitian. Kemudian, akademisi dapat berperan sebagai konsultan dan memberi masukan serta saran bagi industri berdasarkan penelitiannya. Lalu, bekerja sama dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa, membantu transfer teknologi dari institusi pendidikan ke dunia industri, serta membantu profesional industri energi dengan menyediakan pendidikan berkelanjutan.
Rektor ITB Reini Wirahadikusumah mengatakan, pihaknya ingin mengajak para mahasiswa mencari gagasan baru untuk memajukan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia dalam sektor energi dan turunannya.
Reini mengapresiasi langkah Pertamina mengadakan acara PGTC di berbagai kampus. Hal ini membuktikan Pertamina terus berkomitmen terhadap pendidikan di Indonesia. Salah satu pembangunan nyata yang Reini apresiasi adalah Pertamina memberikan kepercayaan kepada ITB untuk membantu membangun Gedung Research, Rekayasa Molekuler.
”Kami harap sinergi ITB dan Pertamina semakin kuat dan kerja sama semakin meningkat, khususnya mengenai pemanfaatan biodiesel,” ujarnya.
Meski kerja sama antara ITB dan berbagai industri berjalan sangat baik, pihaknya tetap memiliki tantangan, terutama dalam hal membagi waktu untuk mengajar. Saat ini, pihaknya tengah bertekad untuk menyeimbangkan antara pemenuhan akademik mahasiswa dan kerja samanya bersama industri.
Peran media
Menurut Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Adi Prinantyo, media turut berperan dalam mengentaskan masalah transisi energi. Dengan menuliskan berita sesuai fakta dan berdasarkan data, media berperan dalam menyalurkan informasi mengenai energi terhadap masyarakat luas.
Selain itu, media harus memiliki cara bagaimana mengemas isu penting tetapi sulit dimengerti menjadi suatu hal yang menarik dan lebih mudah dipahami, tetapi tidak meninggalkan fungsi pers yang akurat dan berbasis fakta.
”Media menjadi garda terdepan untuk menggaungkan informasi yang mencerahkan. Sebab, ada kecenderungan masyarakat menghindari membaca berita karena terkesan serius dan berisi suatu permasalahan,” katanya.
Adi melanjutkan, media massa berbeda dengan media sosial. Media massa memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi, menghibur, dan menginspirasi pembaca. Media massa, dalam tulisannya, juga mengupayakan alternatif solusi dalam berbagai permasalahan yang dibahas, dan hal ini tidak dimiliki oleh media sosial.
Mahasiswa sebagai agen perubahan, dikatakan Adi, harus membaca bacaan yang berkualitas dan bisa menginspirasi. Oleh karena itu, keterlibatan dan akses mahasiswa terhadap media berkualitas harus dipermudah.
”Sebagai contoh, Kompas saat ini bekerja sama dengan PT Pertamina untuk menginspirasi mahasiswa dengan menggratiskan ribuan mahasiswa di beberapa universitas untuk mengakses Kompas.id (Kompas digital) selama satu tahun. Kemudian, untuk menyuarakan suara anak muda dalam menulis opini terkait ketertarikannya, termasuk di bidang energi, Kompas juga menyediakan rubrik Kompas Muda di platform Kompas,” katanya.
Melemah
Di sisi lain, komitmen Indonesia terhadap transisi energi dinilai melemah di saat sejumlah negara anggota Agensi Energi Internasional atau IEA berkomitmen dalam peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global. Hal ini dikatakan pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi.
Fahmy mengatakan, kondisi itu, antara lain, terlihat dari masih rendahnya realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer yang sebesar 13,1 persen hingga akhir 2023. Padahal, ada target 23 persen pada 2025. Selain sinkronisasi kebijakan, juga dibutuhkan iklim investasi yang baik serta upaya serius untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
”Harus ada komitmen kuat dari pemerintah karena ada perubahan paradigma dari energi fosil ke energi terbarukan. Aturan-aturan untuk mendukung itu belum juga disahkan, seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Juga perlunya pembenahan Undang-Undang Kelistrikan (untuk mendukung akselerasi energi terbarukan),” kata Fahmy (Kompas.id, 17/2/2024).
Dua faktor penting dalam transisi energi, tambah Fahmy, adalah pendanaan dan teknologi. Oleh karena itu, iklim investasi yang kondusif di bidang energi terbarukan mesti diciptakan. Komitmen pendanaan dari Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) atau dari negara-negara maju dan swasta, senilai 21,5 miliar dollar AS (mayoritas pinjaman konsesi), juga belum jelas wujudnya. Menurut dia, jika sebatas komitmen, akan sulit diharapkan.
Fahmy juga mendorong agar satu kebijakan dan kebijakan lain harus saling mendukung, misalnya bagaimana energi terbarukan dapat dipacu dan pada saat bersamaan ada kejelasan tahapan pengurangan energi fosil seperti batubara. Menurut dia, perlu ada kebijakan yang saling terintegrasi.