Perjelas Konstruksi Kasus, Polisi Gelar Perkara Tewasnya Siswa STIP
Polisi melakukan gelar perkara lanjutan untuk sinkronisasi alat bukti. Keterangan 36 saksi dan rekaman CCTV jadi acuan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelar perkara dilakukan Polres Metro Jakarta Utara untuk memperjelas konstruksi kasus penganiayaan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Jakarta Utara. Dari gelar perkara ini masih terbuka kemungkinan adanya penetapan tersangka baru.
Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan mengatakan, gelar perkara terhadap kasus penganiayaan yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Cilincing, Jakarta Utara, dilakukan untuk menyinkronkan alat bukti dan keterangan para saksi. ”Sudah ada 36 saksi yang dimintai keterangan, termasuk saksi ahli. Data tersebut akan disandingkan dengan rekaman CCTV dan alat bukti yang lain,” katanya, Rabu (8/5/2024)
Dalam menangani kasus ini, Gidion tidak mau gegabah. Karena itu, dalam konteks pengumpulan barang bukti, harus dilakukan secara lebih hati-hati .
Hingga kini, polisi baru menetapkan satu tersangka tunggal, yakni Tegar Rafi Sanjaya (21), taruna tingkat II yang memukul yuniornya, Putu Satria Ananta Rustika (19), hingga lima kali di toilet. Tindakan itu menyebabkan luka di daerah ulu hati korban yang akhirnya berdampak terhadap pecahnya jaringan paru. Setelah dipukul korban pun jatuh pingsan.
Kemudian, bersama empat rekan lainnya, pelaku memindahkan korban ke kelas di sebelah toilet. Penyelamatan yang dilakukan tersangka adalah dengan memasukkan tangan ke dalam mulut korban untuk menarik lidahnya. Tindakan ini justru menutup saluran pernapasan dan korban pun meninggal dunia.
Data itu diperoleh dari hasil autopsi korban. Data ini tentu akan disinkronkan dengan alat bukti yang lain. Atas perbuatannya, Tegar pun dijerat dengan Pasal 338 juncto Pasal 351 Ayat 3 Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Gidion menerangkan adanya alat bukti baru yang dibawa oleh kuasa hukum korban. Namun, alat bukti itu baru muncul setelah peristiwa berlangsung. ”Untuk saat ini, kami fokus untuk menyelidiki tindak pidana ketika peristiwa itu berlangsung,” kata Gidion.Atas proses hukum yang sedang berjalan, Tumbur Aritonang, kuasa hukum keluarga Putu Satria, berharap gelar perkara ini dapat membuka kemungkinan adanya senior lain yang terlibat. ”Karena sedari awal kami meyakini, pelaku penganiayaan tidak hanya satu orang,” ujar Tumbur.Menurut dia, orang yang terlibat dalam penganiayaan, bahkan yang hanya sekadar memegang tubuh korban, harus dijatuhi hukuman pidana. Hingga saat ini, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan penyidik tentang perkembangan kasus ini.
”Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas,” katanya.
STIP merupakan sekolah kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan. Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menuturkan, investigasi internal terhadap kasus ini sedang berjalan. Tujuannya adalah untuk melacak kemungkinan adanya unsur kelalaian atau ada prosedur standar operasi (SOP) yang tidak dijalankan.
Terkait siswa yang terlibat, ujar Adita, untuk Tegar sudah dicabut statusnya sebagai siswa STIP. Adapun mereka yang masih menjadi saksi masih bisa melanjutkan kegiatan belajar-mengajar . Terkecuali jika kepolisian membutuhkan keterangan dari yang bersangkutan, siswa itu akan dibebastugaskan sementara.
Pengamat Kebijakan Pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Cecep Darmawan prihatin peristiwa memilukan ini bisa terjadi lagi. Menurut dia, tradisi perpeloncoan termasuk kekerasan di sebuah lembaga pendidikan sudah seharusnya ditinggalkan.
Hanya saja, pihak sekolah tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Harus dikaji terlebih dulu apakah kegiatan para siswa yang berujung kematian ini masuk dalam kurikulum sekolah. Jika tidak, tentu ini adalah perbuatan oknum siswa yang tentu harus diganjar sanksi pidana.
Namun, jika memang kegiatan ini masuk dalam kurikulum sekolah, pejabat sekolah harus bertanggung jawab. Karena itu, sangat penting bagi para pejabat struktural sekolah untuk membuat SOP yang tegas untuk menghapuskan tradisi perpeloncoan ini.
”Jika memang sudah ada, harus ada tim yang mengawasi guna memastikan SOP itu berjalan dengan benar,” ucapnya.
Menurut dia, dibandingkan harus mengadakan perpeloncoan lebih baik digelar program bela negara yang dalam pelaksanaannya diawasi oleh para ahli. ”Energi mereka bisa lebih disalurkan di program ini dibanding melakukan perpeloncoan pada yuniornya,” kata Cecep.