Nyoblos Itu Seru
Begitu ungkap Rara (17), siswa kelas III SMA Labschool, Jakarta, seusai mencoblos alias memilih di Pilkada DKI Jakarta, Rabu (15/2) lalu. Dulu, gadis itu cuma ikut-ikutan orangtua jalan ke tempat pemungutan suara (TPS), antre panggilan, mungkin juga ngebuntutin ortu menuju bilik suara. Pada Pemilihan Presiden 2014, ia malah sempat ikutan nyelupinjari ke tinta biru supaya dibilang sudah nyoblos.
Nah, pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Rara benar-benar mencoblos atau menggunakan hak suaranya. ”Seru lho, keren abis.... Enggak pake lama. Cuma nunggu lima menit, eh sudah bisa masuk ke bilik suara, nyoblos saja gambarnya,” katanya.
Bayang-bayang sejumlah debat pilkada beberapa waktu lalu sudah tidak terlalu diingatnya lagi. Bagi Rara, penentuan pilihan sebetulnya sudah ada sebelum masuk bilik suara. Jadi, ya tinggal buka kertas suara, ambil paku yang tersedia di bilik suara, lalu menusuk gambar pasangan calon (paslon) gubernur-calon wakil gubernur DKI Jakarta di kertas suara.
Lidya (19), mahasiswi universitas swasta di Semarang, Jawa Tengah, yang kebetulan sedang menikmati liburan kuliahnya, antusias datang ke TPS 22 Kemanggisan, Jakarta Barat, dan punya kisah serupa. Ia mengatakan, ”Pengalaman nyoblosini kayak kita punya harapan gitu. Ibaratnya, kayak lagi suka sama seseorang, terus dikasih lampu hijau sama yang disuka itu.” Eh, kok malah kayak orang pacaran....
Namun, ada juga dorongan dari orangtua yang dirasakan Lidya. Sebelum menentukan pilihan, mahasiswa jurusan psikologi ini sering mengikuti perkembangan paslon lewat medsos dan juga mendengarkan opini teman- temannya. Dirinya beranggapan, suara yang diberikan dalam pilkada bisa memengaruhi perubahan daerahnya ke depan.
”Satu suara saja sudah sangat berarti banget karena kita akan membangun Jakarta ke depan lewat kebijakan pemimpinnya. Bayangin saja, kalau anak muda di seluruh Indonesia berpikiran suara mereka enggak punya pengaruh buat perubahan di kota mereka masing-masing, mau jadi apa negara kita?” ujar Lidya.
Pengaruh nyata
Sebagian pemilih mula menyadari suara mereka sangat menentukan siapa yang bakal memimpin daerah lima tahun mendatang. Kepemimpinan itu bakal mengendalikan birokrasi dan kebijakan-kebijakan strategis yang bisa jadi berkaitan langsung dengan kepentingan pemuda.
Tak heran, Timotius (19), cowok kelahiran Jakarta, begitu antusias menyambut pilkada. Proses perkembangan gagasan calon pemimpin ini dinilai bikin seru. ”Prosesnya seru, jadi I was quite excited sih karena sebelumnya enggak pernah ada governor election yang debatnya kayak begini seru,” katanya.
Sebagai anak kuliahan yang nyambi bekerja, Timotius merasakan betul dampak pilkada. Salah satunya terkait upah. ”Kayak UMP (upah minimum provinsi) naik, kitanya kan enak. Ada tambahan buah bayar kuliah juga,” ungkapnya.
Dia berharap, pemimpin terpilih nanti dapat menyediakan lapangan pekerjaan bertaraf internasional dan bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Nadine Belangi (19) menyebut keseruan pilkada justru karena digelarnya bazaar dan live music. TPS-nya digelar di lapangan terbuka di Perumahan Bukit Indah, Ciputat. Kalau soal memilihnya, Langi enggak ambil pusing lagi. ”Aku udah mantep sih milihnya,” kata Langi, yang memilih untuk Pilkada Gubernur Banten.
Para pemuda itu adalah pemilih pemula, usianya kisaran 17 tahun sampai 19 tahun. Itu berbeda dengan pemilih muda yang usianya 17-30 tahun. Untuk Pilkada DKI Jakarta, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, jumlah cowok pemilih pemula 102.128 orang dan ceweknya 97.712 orang. Di Pilkada Banten, ada 109.510 cowok pemilih pemula, dan 106.826 cewek.
Tak cukup dengan nyoblos, sebagian kaum muda sekalian ambil peran sebagai pengawas atau saksi pemilu. Contohnya, Achmad Fatahillah yang menjadi pengawas TPS di Cipete Utara. Begitu juga Setiaji, Dwi, dan Lukman Hakim yang cari pengalaman menjadi saksi pasangan calon kepala daerah. Kalau dihitung upah kerjanya, mereka bilang enggak sebanding. Sebab, rawannya justru pas proses bikin laporan akumulasi suara. Bisa sampai malam, bahkan berlanjut keesokan harinya.
”Pengin tahu saja sih, gimana rasanya turun ke lapangan. Kata orang, titik rawannya pas nanti penghitungan suara,” ujar Fatahillah sambil menyeruput segelas kopi.
Semakin kritis
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut, pemilih pemula semakin kritis. Kesadaran politik mereka semakin baik. Mereka mulai terbuka ngobrolin pilihan politik ketimbang situasi lima tahun lalu. Pemilih pemula juga mulai aktif sebagai relawan penyelenggara pemilu ataupun saksi pendukung paslon.
”Media sosial semakin berkembang. Yang dibangun sekarang bukan sekadar kesadaran politik, melainkan sudah gerakan bersama. Bukan lagi melek politik semata, melainkan sudah mau mengawal suara dan mengawal kebijakannya,” katanya.
Titi mengingatkan, memilih pada pemilu adalah perangkat paling dahsyat yang diciptakan manusia untuk mengalahkan ketidakadilan. Memilih adalah manifestasi daulat rakyat untuk menentukan siapa yang berhak mewakili dan memegang kuasa atas rakyat di lembaga eksekutif ataupun legislatif.
Siapa pun mereka, suara pemilih pemula tetap sama nilainya dengan suara petani, konglomerat, anggota DPR, bahkan suara presiden sekalipun. Satu orang, satu suara, satu nilai.... (OSA/*)