Tidak Sekadar Jeprat-jepret
Siang sehabis hujan di kawasan Palmerah, Jakarta, Kamis (9/2) lalu, Deden Saputra (19) bersama dua kawannya, M Fadli (20) dan Naldi (19), tiba di Bentara Budaya Jakarta. Ketiganya segera mengambil tempat di salah satu bangku panjang. Mereka lalu serius mendengarkan presentasi rekan mereka dalam rangkaian Festival Fotografi Kompas.
”Dulu saya sekadar motret. Kalau sudah kelihatan bagus, sudah puas. Ternyata foto itu tidak ada apa-apanya,” kata Deden yang mulai belajar memotret sejak duduk di bangku SMA.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur ini adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Foto Visual Fotografi. UKM itu melebur dalam jaringan pegiat fotografi antarkampus se-Jabodetabek bernama Panorama atau Persatuan Fotografi Mahasiswa. Kini, Panorama menaungi 25 klub dan UKM foto dari 22 kampus Jabodetabek.
Hanif Husein, Sekretaris Jenderal Panorama, mengatakan, pada dasarnya kelompok ini adalah kumpulan mahasiswa yang dipertemukan oleh fotografi. Kegiatannya bukan hanya melulu terkait teknik fotografi, melainkan juga manajerial dalam mengelola lembaga. ”Kami mempunyai kegiatan tahunan, seperti Panorama Award, yang merupakan ajang penganugerahan foto terbaik.”
Interaksi
Kegiatan fotografi membuat Danang Hariwibowo (22), yang senang memotret pemandangan ketika sedang berjalan-jalan, jadi lebih paham dengan keberagaman di Indonesia. Ketika memotret keseharian masyarakat, ia mesti bergaul dengan mereka. ”Ngobrol dengan penduduk sama asyiknya dengan memotret. Dari pendekatan itu, aku bisa masuk dapur di rumah warga di Cianjur (Jabar) yang masih memasak nasi pakai tungku,” kata Danang.
Ada juga fotografer yang menekuni aliran fotografi makro yang memotret tumbuhan dan binatang kecil dengan peralatan khusus. ”Belajar melihat dunia dari bawah, dari hal kecil,” ucap Harry Febrianto dari komunitas Macro Worldmania.
Harry dan kawan-kawannya di komunitas itu sering memotret kumbang, lalat, ulat, dan semut. ”Tetapi, saya masih agak jijik sama reptil, he-he,” ujar Harry.
Harry awalnya menyukai foto bertema kehidupan manusia atau human interest. Baru setahun terakhir ia mengamati kehidupan ”lain”, yang lebih kecil dan terabaikan kebanyakan orang.
Ia jadi tahu arah terbang lebah setelah hinggap di bunga. Ia juga tahu saat terbaik memotret kupu-kupu adalah sebelum pukul delapan pagi karena pada saat itu kupu-kupu biasa memamerkan keelokan sayapnya.
Lubang jarum
Pada hari yang berbeda, Hendra Kartakusuma (25) memegang sebuah kotak kayu. Di bagian depan, ada tuas yang bisa naik turun. Sementara di sisi belakang, kabel-kabel kecil beraneka warna terpasang di sebuah sirkuit mini.
”Ini namanya kamera lubang jarum dengan sensor cahaya. Jadi, saya memasang teknologi sensor yang akan menutup sendiri ketika cahaya yang masuk sudah pas,” kata alumnus Universitas Pakuan, Bogor.
Kamera buatan Hendra merupakan perkembangan dari kamera lubang jarum atau pinhole pada umumnya. Inovasi itu bisa menambah tingkat keberhasilan sebuah foto.
Kamera lubang jarum sendiri adalah kamera sederhana yang memanfaatkan cahaya yang masuk melalui lubang kecil, seukuran mata jarum. Perkenalan Hendra dengan kamera lubang jarum bermula ketika dia mulai bosan dengan kamera SLR digital. Ia ingin mencoba sesuatu yang lain, bereksperimen dengan kamera analog (pakai film sebagai media rekam) dirasa terlalu mahal. Setelah berselancar di internet, ia tertarik pada kamera lubang jarum.
”Dari situ, saya bertemu dengan teman-teman lain, dari komunitas-komunitas di sejumlah daerah. Yang bikin saya kagum, ada saja inovasi dan penemuan mereka. Hal ini membuat saya selalu terpacu, lebih menghargai proses, dan tidak terburu-buru,” kata Hendra.
Bagi Ray Bachtiar Dradjat, penggagas komunitas kamera lubang jarum, membuat foto dengan kamera lubang jarum adalah mengembalikan semangat bermain dan belajar. Setiap proses dari pembuatan foto mempunyai nilai tersendiri.
Untuk kameranya saja, kata Kang Ray, nama panggilannya, harus dibuat sendiri. Makanya, setiap kamera menjadi ciri khas setiap pemakai. ”Bagi komunitas, ini ajang bersenang-senang dan bereksperimen karena tidak ada foto yang gagal dalam kamera lubang jarum,” ucap Ray.
Ucapan Kang Ray itu sepertinya juga berlaku buat fotografi pada umumnya. Selain berbekal teknik dan wawasan, kesenangan adalah unsur kasatmata pada fotografi. Ayo motret! (JAL/HEI)