”Bye-bye” Kekerasan
”Ini koreografi kami ketika PSM melawan Persib Bandung. Sebentar akan ditampilkan di layar,” kata Wiwin Nyampa (29), Koordinator Tim Kreatif The Macz Man, menunjukkan telepon pintarnya.
Siang itu, Minggu (12/2), The Macz Man ikut dalam rangkaian kegiatan Peacetival. Gerakan yang menyebarkan ”virus” damai itu pertama kali digelar di luar Jawa. Bersama 12 komunitas lainnya, seperti Rumah Budaya Rumata dan Cinta Buku, The Macz Man ikut memeriahkan acara.
Di tempat lain, tepatnya di Mal Ratu Indah, anak-anak sedang sibuk dengan crayon dan selembar kertas. Mereka sedang mengikuti lomba mewarnai. Lomba puisi dan diskusi mengisi acara yang berlangsung dari pagi hingga malam hari tersebut.
Gerai yang ditempati kelompok suporter terbesar PSM Makassar ini semakin ramai, terutama ketika sore menjelang. Tim kebanggaan mereka, ”Ayam Jantan dari Timur”, bertanding melawan Persela Lamongan. Belasan pendukung setia duduk menikmati pertandingan dari layar kaca.
Teriakan suporter yang rata- rata anak muda terdengar ketika tim mereka gencar menyerang. Keluhan dan kritik berhamburan saat gawang sendiri terancam. Suara mereka berkelindan dengan ingar-bingar band yang sedang tampil di panggung utama. Tidak hanya anggota The Macz man, tetapi juga beberapa pengunjung umum juga berbaur ikut menonton. Sayang, hari itu PSM kalah 1-2.
Wiwin menyebutkan, pihaknya ikut dalam acara ini bukan hanya sekadar memenuhi undangan. Misi perdamaian yang dibawa sesuai dengan misi The Macz Man, yaitu menjadi suporter kreatif yang tertib dan damai.
”Sejak 2008, kami mulai membenahi organisasi. Kami menyusun agenda, memperjelas sanksi dalam aturan, membina kelompok kreatif, serta melakukan kegiatan dan bakti sosial secara rutin,” kata Wiwin, yang menonton pertandingan PSM sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Kekerasan
Suporter PSM Makassar dikenang dengan aksi kekerasan beberapa tahun lalu. Mereka beberapa kali terlibat perkelahian dengan sesama suporter, dengan warga, bahkan dengan aparat keamanan. Kelakuan suporter seperti ini bukan hanya ketika PSM bermain di kandang, melainkan juga saat bertandang ke daerah lain.
Namun, cerita itu kini telah dikubur dalam-dalam. Kreativitas dan sportivitas mulai digalakkan.
The Macz Man, dengan sekitar 10.000 anggota—baik di Makassar maupun juga di kota lain—diarahkan untuk berlaku damai dan kreatif. Kelompok ini memiliki 117 subkelompok suporter, terdiri dari 73 sektor dan 44 zona.
Ketika ada anggota yang ketahuan minum minuman keras, juga memakai narkotika, mereka akan diberikan sanksi. ”Kemarin ada yang diberi sanksi karena ketahuan mabuk. Sanksinya beragam, ada yang tidak boleh memakai atribut selama tiga pertandingan, bahkan hingga dipecat,” kata Wiwin.
Nisa (20), Deputi Urusan Peranan Wanita The Macz Girl, menuturkan, hingga beberapa tahun lalu, dirinya belum berani menonton pertandingan sepak bola di stadion. Sebab, atmosfer di stadion tak nyaman dan aman.
”Waktu itu stadion bukan tempat untuk perempuan. Namun, sekarang citra itu telah berubah. Stadion telah aman dan nyaman. Di luar, kegiatan sosial banyak dilakukan,” ucap mahasiswa perguruan tinggi swasta di Makassar ini.
Ekspresi
Selain kelompok suporter ini, sejumlah orang hadir di acara Peacetival. Komunitas Sahabat Kita serta pegiat literasi dan seni datang jauh-jauh dari Kabupaten Pinrang, sekitar tiga jam perjalanan dari Makassar, untuk ikut lomba.
Satriadi Baharuddin (21) mendeklamasikan puisinya dengan hikmat. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Pare-pare ini menggelorakan semangat perjuangan melalui puisi. Satriadi dan beberapa rekannya di komunitas sengaja datang di acara-acara yang memberikan wadah mengekspresikan diri. Hal itu menjadi sarana penyalur kreativitas dan melatih kemampuan pribadi.
”Kalau kita berbicara tawuran dan aksi kekerasan di Makassar, menurut saya, salah satunya karena kurangnya perhatian dari orang-orang. Hal yang juga sangat penting adalah tidak ada wadah mereka untuk mengekspresikan diri,” katanya.
Di komunitas tempat Satriadi bernaung, ada kelas membaca dan seni kepada anak-anak. Kegiatan itu rutin dilakukan setiap Minggu sore. Lalu, setiap bulan, ada kegiatan mengunjungi desa- desa untuk memberikan pelajaran.
Reni Susanti, Ketua Panitia Lokal dari Peacetival, menyampaikan, festival itu berusaha membangun jaringan antarkomunitas dan individu yang tertarik pada isu perdamaian. Diharapkan, pesan damai bisa terus menyebar ke masyarakat luas, termasuk setelah acara kelar.
Lima tahun terakhir, menurut Reni, tingkat kekerasan di Makassar semakin muncul ke ruang publik. Kekerasan yang dulunya di lorong-lorong gelap, di daerah-daerah tertentu, pindah ke jalan dan ruang publik lain.
Pergeseran itu meresahkan masyarakat. Stigma Makassar sebagai kota yang identik dengan kekerasan belum berubah. Karena itu, pesan perdamaian harus terus didorong dan diembuskan. Pendidikan dan pola pikir yang cinta damai dan welas asih harus ditanamkan sejak dini.
Irfan Amalee, Founder of Peace Generation, penggagas acara Peacetival, mengatakan, ada 12 nilai dasar yang menjadi pedoman untuk disebarluaskan, khususnya kepada generasi muda di Indonesia. Beberapa di antaranya menerima perbedaan, menolak kekerasan, atau mengakui kesalahan.
”Hal-hal itu harus terus kami gaungkan kepada generasi muda. Peacetival hanya simbol gerakan untuk menebarkan gerakan damai. Langkah nyata di luar acara ini sudah selayaknya terus dilakukan karena damai itu merupakan cara untuk berkembang,” kata Irfan. (Saiful Rijal Yunus)