Sehari penuh, dari pukul 10.00 hingga pukul 21.00, Peace Festival atau disingkat Peacetival digelar di Makassar. Acara yang diarahkan untuk segala umur ini ramai pengunjung. Tua-muda, perempuan dan laki-laki, agama yang berbeda, tumpah ruah merayakan semangat perdamaian.
Anak-anak juga bermain riang di arena yang disediakan. Sebagian terlihat serius mengikuti lomba yang diadakan. Orangtua mereka yang mengawasi tidak kalah seriusnya.
Anak muda berbaur di depan panggung, menikmati hiburan dari para penampil. Stan komunitas tidak kalah ramainya oleh pengunjung yang rerata berusia muda.
Peacetival kali ini merupakan kegiatan kedua setelah tahun 2015 di Bandung. Eddy Aqdhiwijaya, Koordinator Peacetival, mengungkapkan, pemilihan lokasi di Makassar karena anak muda di kota ini punya semangat tinggi untuk mewujudkan perdamaian. ”Contoh kecilnya, saat kami membutuhkan relawan. Info kami sebar hanya tiga hari, yang mendaftar sampai 180 orang. Bayangkan kalau seminggu, padahal kami hanya butuh 30 orang,” kata Eddy, di sela-sela acara.
Dari diskusi dengan relawan, lanjut Eddy, mereka menilai penilaian negatif orang terhadap Kota Makassar lebih tinggi dibandingkan dengan citra positifnya, utamanya terkait aksi kekerasan dan kriminalitas. Oleh karena itu, nilai-nilai perdamaian harus disebarluaskan dan terus digaungkan.
Pada dasarnya, menurut Eddy, anak muda Makassar membutuhkan wadah untuk berkumpul dan menuangkan ide. ”Mereka sebelumnya adalah silent majority, yang hanya butuh dikumpulkan dalam satu wadah. Fenomena intoleransi yang terjadi saat ini karena banyaknya orang toleran yang diam.”
Kegiatan ini diikuti oleh 12 komunitas, baik lokal, nasional, maupun internasional. Komunitas ini rata-rata adalah komunitas yang dekat dengan kehidupan anak muda. Tujuannya, mengajak komunitas yang menyebarkan ”virus” damai.
Irfan Amalee, penggagas Peacetival dan Youth Generation, mengungkapkan, gerakan damai yang diinisiasi lembaganya telah berlangsung selama 10 tahun. Peacetival adalah ”gong” dari yang dilakukan secara kontinu di sejumlah kota di Indonesia.
Pelatihan kader perdamaian rutin dilakukan. Total jumlah kader yang telah diberikan pelatihan mencapai 525 guru di sekolah, yang mendampingi 3.147 siswa.
”Gagasan besarnya adalah menciptakan tools untuk menyebarkan isu damai, dengan agen yang berusia 20 hingga 60 tahun. Mereka adalah katalisator dengan sasaran utama adalah anak-anak. Karena, cara terbaik untuk menanamkan isu damai adalah sejak generasi masih muda,” ucap Irfan.
Hasilnya, agresivitas anak-anak yang didampingi menurun. Tingkah laku mereka menjadi jauh lebih terkontrol dan lebih baik. (JAL)