Idealnya, menyusun skripsi dicicil sejak awal semester terakhir atau bahkan target awal tahun terakhir masa studi. Soalnya, menyusun skripsi harus melalui beberapa tahapan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mulai dari menentukan topik penelitian, bikin judul, meneliti, mencari narasumber, mengumpulkan data kepustakaan, mengulik sumber ilmiah, hingga menyusun semua itu dalam lima bab tulisan.
Sering kali baru sampai tahap pertama, seperti menentukan topik penelitian dan menetapkan judul saja, mahasiswa langsung kelabakan. Mereka kerap bingung, harus memulai dari mana? Jika langkah awal saja berantakan, tahap berikutnya kian banyak tantangan.
Belum lagi ada berbagai situasi di luar kendali mahasiswa, seperti buku yang tidak ada lagi, komputer atau laptop rusak, narasumber yang sulit ditemui tepat waktu, dosen pembimbing yang mendadak membatalkan janji bertemu, dan jadwal sidang yang tak jelas.
Tekanan makin menjadi-jadi ketika sebagian teman satu per satu menyelesaikan sidang skripsi, lalu banyak orang bertanya, kapan skripsi kita akan kelar. Situasi juga makin berat saat kawan-kawan seangkatan sudah wisuda. Semua itu bisa bikin penulis skripsi stres atau depresi.
Revisi berulang
Simak pengalaman Sri Wulandari Chaniago (22), mahasiswa Jurusan Multimedia Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila, Jakarta. Dia selalu deg-degan ketika hendak menemui dosen pembimbing yang menuntut segala sesuatunya sempurna. Alhasil, dia harus bolak-balik revisi untuk satu bab saja.
”Soal penulisan latar belakang saja saya revisi tujuh kali, baru boleh lanjut ke bab dua. Jadi, saya tak bisa ikut sidang outline, apalagi sidang besar. Proses penulisan lama karena buku acuan susah didapat dan e-book hanya ada dalam bahasa Inggris,” katanya.
Sementara Nova Andriany (22), mahasiswa Jurusan Strategic Marketing Public Relations, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Al-Azhar, Jakarta, mengalami penundaan sidang beberapa kali. Dia membiasakan diri rutin mengerjakan skripsi pada pagi sampai sore atau sore sampai malam.
Dari seluruh bab skripsi, Nova merasa menyusun latar belakang adalah yang paling melelahkan. Begitu pula ketika harus menyebar kuesioner untuk 100 responden, kemudian mengolah data tersebut. Apalagi, mencari data 100 responden juga tak mudah karena harus menemukan orang-orang yang benar-benar memakai t-cash untuk bahan penelitiannya. ”Pegal, ha-ha. Apalagi, mendadak harus menambah satu variabel lagi. Parah!” ujarnya.
Nova mendapat dua dosen pembimbing. Satu dosen cenderung santai dan selalu ada di kampus. Satu dosen lagi sulit ditemui, tetapi mudah ditelepon dan mau membimbing. ”Beruntung mereka penuh pengertian, setiap kali meminta bimbingan, mereka selalu bersedia,” katanya.
Situasi itu agak mirip dengan pengalaman Wildah Faizatina Agoes (22), mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia sedang meneliti komunitas penyanyi dangdut di Yogyakarta.
”Walau artis lokal, mereka tetap artis. Susah masuk komunitas tersebut. Setelah kenal, ternyata mereka baik meski banyak yang enggan diwawancara. Bahkan, ada yang tidak memberikan respons sama sekali,” kata Wildah yang membahas tubuh perempuan dalam pertunjukan dangdut di Yogyakarta. Dia bercerita, dosen pembimbingnya baru mau menindaklanjuti kalau dia sudah selesai penelitian.
Lain halnya dengan Aria Bhaswara Mohammad Bintang (22), mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Dia masih dalam tahap revisi bab pertama. Ia merasa mendapat tantangan tiap kali mendapat topik baru.
”Saya paham kemauan tiap dosen. Yang agak menghambat, perbedaan subyektivitas antara penulis dan pembimbing. Contohnya, pemilihan kata yang menurut penulis tidak masalah dan mungkin benar, tetapi menurut dosen pembimbing tak jelas,” ujarnya.
Pengetahuan baru
Bagi dosen pembimbing seperti Ninie Susanti Tedjowasono, dosen epigrafi dari Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI), setiap mahasiswa bimbingannya memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tiap kali membimbing, dia selalu mendapat ilmu dan pengetahuan baru. Dia menantang mahasiswa yang memintanya sebagai dosen pembimbing untuk kreatif dalam meneliti dan menulis.
”Paling sebal kalau dapat mahasiswa yang malas atau mahasiswa yang terlalu banyak ide dan pertanyaan, tetapi tulisannya tidak maju-maju. Namun, jika ada mahasiswa yang rajin, saya akan membantu mencarikan jaringan agar penelitiannya lebih mudah,” katanya.
Ninie terkadang kaget mendapati mahasiswa yang selama masa kuliah biasa-biasa saja, bahkan terkesan mengantuk di kelas, tetapi malah tampil cemerlang dan mampu membuat penelitian memuaskan.
”Mahasiswa seperti ini membuat saya kagum luar biasa dan tak ragu memberikan angka tinggi,” ujarnya. (TIA/*)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.