Mendadak Ramen!
Harga ramen di sekitar Depok bervariasi. Ramen di kelas kedai atau warung harganya Rp 17.000- Rp 27.000 semangkuk. Untuk kelas restoran yang ruangnya nyaman dan adem, harga ramen dipatok rata-rata Rp 50.000 per mangkuk.
Kedai-kedai ramen juga tumbuh di sekitar Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Tak jauh dari Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, ada warung Osaka Ramen. Warung itu berada di sebuah lahan yang dirancang sebagai food court.
Hampir setiap malam, terutama malam Minggu, warung itu cukup ramai dikunjungi pembeli, terutama mahasiswa. Warung ramen itu bersaing dengan warung ayam bakar, pecel lele, dan kedai kuliner lainnya.
Di Jakarta, ramen muncul di pusat perbelanjaan dan pusat jajanan, seperti Kelapa Gading di Jakarta Utara dan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hal serupa terjadi di kota lain, seperti Bandung dan Yogyakarta. Pasar yang mereka sasar kebanyakan hampir sama, yakni anak muda dan mahasiswa.
Pemburu ramen
Mengapa ana-anak muda kini gandrung ramen? Christo, mahasiswa UI, mengaku kenal ramen gara-gara sering nonton film kartun Jepang yang sering memperlihatkan orang makan ramen. Dari situ, ia tertarik mencicipi ramen. Setelah itu, ia ketagihan.
Rani, mahasiswi Universitas Pamulang, mengatakan, ”Ramen bikin ketagihan karena kuahnya itu lho. Rasanya gimana gitu?”
Menurut dia, ramen beda sekali dengan mi ayam biasa. Ramen lebih rame dengan aneka taburan alias topping. Gara-gara itulah, Rani jadi rajin makan ramen.
Livia Anggraeni, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Strategic Communication Universitas Pancasila, Jakarta, mengenal ramen sejak SMP. Belakangan, ia menjadi pemburu ramen yang gigih. Ia rela keliling Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang demi mencari ramen yang maknyus.
”Aku nyobain segala macam ramen. Setiap tempat paling cuma beda cara penyajian dan tempatnya, fasilitas, dan kualitas bumbunya aja,” lanjutnya seusai menyantap Ramen with Chicken Karaage di warung Yokina Ramen di Kukusan.
Dinda Sandra Putri (22), teman sekampus Livia, juga mengaku mengenal ramen sejak SMP. Namun, dia mulai doyan makan ramen sejak SMA. Wilayah perburuan ramennya tidak jauh-jauh di seputar Depok. Tempat favoritnya adalah sebuah warung ramen di Mal Margo City.
Jika bosan makan di situ, ia berselancar di internet untuk mencari warung makan ramen lainnya. ”Setelah dapat, gue rasain dan nilai sendiri. Meski dapat ramen mahal tapi enak, it’s ok! Gue bakal lanjut makan ramen di tempat itu lagi,” ujarnya.
Orisinal vs setan
Bagaimana sih di negeri asalnya? Di Jepang, ramen punya sejarah panjang. Mi berstruktur kenyal itu asalnya dari China, lantas dibawa ke Jepang.
Menurut Sylvia Wijaya, pemilik restoran Wabito Ya Ramen di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, ramen mulai ada di Jepang pada tahun 1665. Namun, saat itu ramen belum terlalu populer. ”Baru sekitar tahun 1872 ramen mulai berkembang di Jepang sesuai dengan daerah masing-masing sehingga menjadi makanan ’asli’ negara ini,” ujar Sylvia yang belajar membuat ramen dari pembuatnya di Jepang.
Dulu, lanjut Sylvia, ramen dijajakan dengan gerobak. Sejak 1920-an, ramen mulai dijajakan di kedai permanen lalu merambah ke restoran. ”Sejak saat itu ramen berkembang dengan cita rasa orang Jepang dan sesuai dengan gaya pemilik kedai-kedai itu sendiri,” tambahnya.
Ramen pun jadi sangat populer. Saking populernya sampai ada museum ramen di Shin Yokohama.
Belakangan, popularitas ramen merembes ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Kalau di Jepang, ramen bermula di gerobak lalu merambah ke kedai. Sementara di Indonesia malah terbalik. Ramen mula-mula hadir di restoran Jepang, kemudian turun ke warung-warung sederhana, hingga ”terdampar” di gerobak. Nah, ramen yang dijajakan di gerobak bisa ditemukan di sekitar Universitas Pamulang.
Variasi ramen di Indonesia juga berkembang sesuai dengan selera konsumen. Ada restoran atau kedai yang menjual ramen dengan cita rasa orisinal, misalnya dengan pilihan kuah shoyu, miso, kari, dan goma shio. Sebagian penjual ramen berkreasi dengan memasukkan cita rasa orang Indonesia. Maka, lahirlah ramen setan.
Kata setan dipakai untuk menggambarkan rasa ramen yang super pedas. Sama seperti rawon super pedas yang disebut rawon setan atau sambal super pedas yang disebut sambal setan. Rupanya orang Indonesia senang mencatut nama setan untuk menamai makanan.
Ramen setan memiliki level pedas yang berbeda-beda. Dari yang sekadar bikin mulut ”huh hah” hingga membuat mulut
terasa terbakar. Hampir pasti badan akan bercucuran keringat setelah menyantap ramen model itu.
Salah satu warung ramen setan yang cukup ramai ada di sekitar perumahan Bumi Serpong Damai, Banten. Lokasinya tidak jauh dari sekolah Stella Maris dan Saint John. Penggemar ramen setan di sana bukan hanya anak-anak sekolah, melainkan juga para penghuni perumahan.
Rahadi Basuki, pemilik waralaba Osaka Ramen dan Ramen Setan, mengaku terus bergerilya untuk memopulerkan ramen setan melalui media sosial. Hasilnya cukup menggembirakan. Tahun 2017 ini, Gerai Ramen setan yang didirikan sudah 15 buah, tersebar di Jakarta, Palangkaraya (Kalimantan Tengah), dan Bali. Sebentar lagi akan hadir juga di Kendari (Sulawesi Tenggara).
Sebelum jualan ramen, Rahadi awalnya jualan mi ayam. Pada 2013, ia mulai merintis usaha Osaka Ramen. Tiga tahun kemudian, ia mengembangkan ramen setan.
Ia yakin, bisnis ramen akan terus berkembang di Indonesia. Soal kuliner, lanjut Rahadi, konsumen Indonesia masih menginginkan sesuatu yang baru, terutama yang berbau asing.
Pasar yang dianggap sangat prospektif untuk digarap adalah anak muda dan mahasiswa. Makanya, banyak warung ramen bertebaran di sekitar kampus dan tempat nongkrong anak muda. Ya, kira-kira begitulah catatan di balik cerita banyak kaum muda yang mendadak gandrung sama ramen asal Jepang itu.
(SOELASTRI SOEKIRNO/Stefanus Osa Triyatna/*)