Ramen Pun Dimodifikasi
Seperti di Jepang, ramen di Indonesia juga tumbuh dengan banyak pilihan rasa yang dimodifikasi sesuai lidah kita. Perihal rasa itu, Sylvia Wijaya, pengusaha resto ramen yang belajar memasak ramen dari pembuat aslinya di Jepang, menyatakan, cita rasa ramen terutama terdapat pada rasa dari sup dasar.
”Di Jepang, setiap kedai ramen memiliki cita rasa berbeda-beda, tergantung dari keunikan campuran bumbu sup dasar tiap pemilik kedai ramen,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/3).
Keleluasaan mengembangkan varian ramen mendorong Sylvia membuat penyesuaian sesuai selera konsumen. Meski demikian, Wabito Ya Ramen, restoran miliknya di Jakarta, berusaha memegang resep dasar Jepang. Untuk menjaga cita rasa, beberapa bumbu kaldu ikan, bumbu shoyu (kecap asin Jepang) masih harus impor dari Jepang. Sebagian besar bahan lain dari lokal.
Memasak ramen perlu disiplin tersendiri. Di dapur chef Indra dan Mahmud, ada enam alarm. Tiap bagian memasak dibatasi waktunya khusus. Menggoreng ayam untuk karaage (pelengkap ramen) harus disuhu tertentu sehingga rasa yang dihasilkan nikmat.
Di antara sekian banyak menu ramen di Wabito Ya Ramen, ada Tonkutsu ramen. Itu semangkuk mi berkuah panas dengan potongan kol rebus setengah matang, potongan daging dan telur. Rasanya gurih dan sedap.
Menu lain yang unik, Mabou Men ramen. Dalam kuah yang agak kental ada mi, dengan irisan tofu (tahu Jepang). Rasanya agak pedas dan di atasnya bertabur irisan daun bawang. Keunikan rasa ramen jenis ini terletak pada kuah, rasa pedas, dan irisan daun bawang. Begitu suapan ramen menyentuh lidah, lidah serasa bergoyang.
”Mabou Men menjadi pilihan para vegetarian, tapi penyuka ramen,” jelas Indri, staf restoran yang banyak dikunjungi warga Jepang dan Indonesia tersebut.
Bongkar pasang
Kebebasan memodifikasi itu juga memberi inspirasi kepada para pemilik warung ramen lain untuk bereksperimen. Widodo (37), pemilik warung Yokina Ramen di Kukusan, Depok, Jawa Barat, misalnya, meramu resep ramennya. Ia belajar dari mencoba makan ramen di Bandung, Jakarta, lalu mencari tahu dari informasi di internet, bertanya kepada kawan-kawannya, sampai mencobanya sendiri.
Butuh waktu delapan bulan untuk menemukan formula resep yang pas. ”Berkali bongkar pasang bahan, hasilnya coba saja. Saya berprinsip menjual makanan enak yang sehat. Jadi, selain enak, halal, juga sehat. Tak ada pengawet dan vetsin,” kata lelaki asal Wonogiri yang membuka warung ramen tahun 2014 itu. Demi prinsip itu, ia membuat mi ramen sendiri dan mengimpor bumbu Jepang.
Dari puluhan kali mencoba, ia akhirnya menemukan aneka rasa ramen. Ada rasa kari, tongyam, dan kimchi yang cocok bagi lidah banyak orang. Rasa ramen di warung juga sedap, walau rasa kaldunya agak ringan.
Salah satu varian yang masuk rekomendasi, Ramen Tomyam yang bercita rasa segar, misalnya, sangat cocok dinikmati di siang hari yang terik. ”Tidak hanya mahasiswa kita, mahasiswa asal Jepang dan Korea yang sedang kuliah di UI pada suka ramen ala Yokina,” katanya.
Kerja keras Widodo dalam tempo singkat berbuah manis. Ramen hasil modifikasinya cukup laris manis. Kini, ia sudah punya empat warung ramen di Jagakarsa dan Depok.
(*/TRI)