Dosen ”Killer” Bikin ”Klenger”
Dosen killer adalah julukan dari mahasiswa untuk dosen yang jutek, suka marah-marah, dan pelitnya minta ampun dalam memberi nilai. Kalau sedang memberi kuliah di kampus, auranya saja sudah bikin tegang mahasiswa.
Analuna, mahasiswi ilmu komunikasi di sebuah kampus di Serpong, Tangerang, Banten, mengaku pernah berhadapan dengan dosen killer yang bikin dia stres. Ternyata bukan hanya Luna—panggilan Analuna—yang stres, teman-temannya yang mengambil mata kuliah sang dosen juga stres.
Ia menggambarkan, dosennya itu seorang perempuan muda dan tergolong dosen yunior. Raut wajah dan sikapnya sangat serius. Susah untuk diajak santai. Standar penilaian yang ia tetapkan juga sangat tinggi. ”Dia itu dosen yang sangat perfeksionis. Jarang banget tersenyum di kelas,” ujar Luna di kawasan kampusnya, Senin (20/3).
Cindy, mahasiswi sekampus dengan Luna, juga memiliki pengalaman serupa. Tepat pada semester VI, ia mesti mengikuti kuliah dari dosen yang juga dijuluki killer. Gayanya mengajar kaku sekali dan bikin mahasiswa keringetan karena tegang.
”Kalau ia memberi materi kuliah di kelas, yang ada malah bikin kita takut duluan. Ketika kita disuruh buat tugas dengan sistem pengumpulan online yang masih baru banget, kita kayak enggak diajari pelan-pelan bagaimana tahapannya,” tutur Cindy.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang tidak mengerti. ”Soal nilai sih enggak usah ngomong. Jarang banget kasih nilai tinggi, kayak 85 atau 90, apalagi pas UTS. Nilai yang diberikan rata-rata 30 sampai 40-an,” ujar Cindy.
”Killer” vs tegas
Sebutan dosen killer bukan semata-mata disematkan kepada dosen yang galak atau suaranya keras. Sebutan killer juga disematkan kepada dosen yang pelit memberi nilai. Nilai yang mereka berikan sering kali pas-pasan kepada mahasiswa agar bisa lulus. Dosen killer juga umumnya susah ditemui, bahkan ada juga yang merasa memiliki kekuasaan besar. Pokoknya dosen yang menakutkan dan bikin mahasiswa susah disebut killer.
Namun, itu kata mahasiswa lho. Bagaimana pendapat para dosen? Mungkin dosen memilih bersikap tegas kepada mahasiswa karena mereka merasa punya tanggung jawab besar untuk mendorong mahasiswa menuntut ilmu secara serius. Apalagi di zaman sekarang, setiap mahasiswa dituntut untuk bisa bersaing di tingkat global.
Dwi Larso PhD, Wakil Rektor Bidang Akademik President University, menegaskan, dirinya tidak akan bersikap main-main terhadap mahasiswa. Akan tetapi, bukan berarti dosen tegas seperti dirinya disebut killer. ”Saya tidak akan main-main kepada mahasiswa. Saya merasa harus begitu kencang menekankan pentingnya mata kuliah yang menyangkut metodologi. Itu tidak boleh main-main,” katanya.
Namun, ketika Dwi mengajar ilmu manajemen di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), ia memberi ruang kepada mahasiswa untuk berkreasi dalam menerapkan ilmunya. Yang penting, kreasi mereka bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Dwi, yang pada tahun 1980-an kuliah di bidang teknik industri, juga pernah berhadapan dengan dosen yang menetapkan standar penilaian tinggi. Bayangkan saja, hampir satu semester kuliah, hasilnya separuh mahasiswa cuma mendapatkan nilai C (pas-pasan), sedangkan separuhnya dapat nilai E atau terpaksa mengulang lagi di semester berikutnya.
Jika Dwi sekarang bersikap tegas terhadap mahasiswa, bukan berarti ia ingin balas dendam. Kalau mahasiswa hanya datang kuliah untuk mencari nilai, apa kata dunia? Bagaimanapun mahasiswa harus belajar dengan serius agar bisa menguasai ilmu yang dipelajari. Kalau sudah menguasai ilmunya, nilai yang diberikan pasti baik.
Dwi mengaku bersikap tegas terhadap mahasiswa karena merasa ada tugas utama sebagai pendidik, yaitu transfer pengetahuan, membekali keterampilan, dan yang utama adalah transfer attitude (perilaku). Nah, urusan perilaku, Dwi tidak ada kompromi. Ia akan berusaha keras membentuk karakter dan perilaku yang baik terhadap mahasiswa.
Menurut Dwi, mahasiswa bisa mengikis rasa takut terhadap dosen yang tegas. Syaratnya, mahasiswa punya agenda atau rencana hidup. Mau apa kuliah? Apakah sekadar dapat nilai bagus? ”Tragis sekali, kalau kuliah sekadar bisa dapat nilai,” katanya.
Selain itu, mahasiswa harus belajar memahami karakter dan selera setiap dosen. Pada awal perkuliahan, biasanya dosen membeberkan mekanisme transfer ilmu yang akan ia lakukan. Menjelang akhir ujian semester, sang dosen biasanya akan mengemukakan target-target yang mesti dicapai mahasiswa.
”Kuncinya adalah komunikasi. Semakin banyak berkomunikasi, kita tidak mungkin memiliki persepsi killer,” kata Dwi.
Menepis julukan ”killer”
Al Araf, dosen Universitas Al-Azhar, tidak ambil pusing dengan adanya label dosen killer. ”Saya mau dibilang killer atau disanjung-sanjung sebagai dosen murah nilai, terserah saja. Bagi saya, pendidikan adalah proses. Nilai hanya bagian dari sebuah proses. Yang paling penting, bagaimana membangun karakter dan mental mahasiswa agar mereka punya keinginan untuk membuat perubahan positif bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa.”
Berlomba-lomba meraih nilai bagus dinilainya perlu, tetapi lebih perlu lagi berlomba-lomba berbuat kebaikan bagi masyarakat. Banyak orang pintar hanya untuk dirinya sendiri, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk masyarakat.
Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan dosen untuk menciptakan suasana perkuliahan yang lebih menyenangkan sekaligus efektif. Misalnya, menggelar pemutaran film di kelas. Film yang diputar kemudian didiskusikan bersama. Dosen juga bisa menghadirkan figur tertentu di kelas atau mengajak mahasiswa berkunjung ke lembaga-lembaga tertentu.
Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengaku ”terganggu” melihat koleganya sesama dosen di Tanah Air kerap membuat sulit mahasiswa. ”Jadi, setelah pulang ke Indonesia, saya pusing melihat dosen-dosen yang senang mempersulit mahasiswa. Saat ujian doktor, saya membantu mahasiswa menemukan clue atas bimbingan yang diberikan. Tiba-tiba ada dosen membentak dan melarang (saya) ikut membantu mahasiswa itu. Padahal, di Amerika, semua orang dibantu,” kata Rhenald yang pernah mengajar dan menjadi asisten peneliti di AS pada 1989-1990 dan 1992-1998.
Bagi sebagian dosen, kata Rhenald, membantu mahasiswa agar menemukan clue adalah tindakan tidak etis. Padahal, di AS, semua mahasiswa dipermudah oleh dosennya. Dosen saling bekerja sama untuk membuat mahasiswa bisa dan merasa mampu. (*/OSA)