Jangan Malu Bicara di Depan Publik
”Duh, waktu itu malunya bukan main. Nama seorang bapak saya sebut jadi ibu, sampai orangnya protes,” katanya. Pengalaman itu mengajarkan, persiapan tak bisa ditawar.
Rabu (29/3) malam lalu, Mario bersama enam orang lainnya mengikuti kelas kursus public speaking di Choky Sitohang Speaking Inc (Chossi) di sebuah ruko di Tanjung Duren Barat, Jakarta Barat. Choky, mantan wartawan yang sekarang aktif menjadi pembicara dan presenter, menjadi pengajar malam itu, bersama rekannya, Clint Tetelepta.
Satu per satu peserta maju ke depan kelas. Mereka diarahkan untuk menceritakan satu kejadian dalam tiga menit. Mario mendapatkan kesempatan pertama. Dia bercerita tentang kekesalannya lupa memakai sepatu. ”Emm, ternyata saya memakai sandal seharian ini. Saya terburu-buru, emmm, sampai ke kelas ini, emm saya pakai sandal,” ucapnya sembari menggosok-gosokkan tangan di celana.
Setelah kembali ke tempat duduk, Choky mengoreksi beberapa hal. Mulai dari pemilihan kata, gerakan tangan, terutama bergumam. ”Saya mencatat banyak kata emm, atau filler ketika tadi berbicara. Gerakan tangan juga ada beberapa yang tidak perlu. Selebihnya, sangat mengalir dan jelas,” katanya sambil mengacungkan jempol.
Mario merasakan betul banyak perubahan setelah dirinya mengikuti 10 kali pertemuan kelas itu. Mulai dari cara memilih kalimat pertama, memilih nada suara, terutama gesture dan gerakan yang tepat. ”Dulu saya kalau ngemsi (menjadi MC) masih sering bilang, waktu dan tempat dipersilakan. Itu kan lucu banget, masa waktu dan tempat yang dipersilakan, ha-ha....”
Kursus yang diampu Choky diikuti mereka yang bergerak di dunia hiburan atau dunia kreatif, seperti MC, moderator, penyiar, profesional, atau wartawan. Pengusaha muda, atau mahasiswa kerap turut serta.
Menurut Choky, kebutuhan cara dan seni berbicara yang baik itu dibutuhkan semua orang. Sebab, dengan memahami seni berbicara, seseorang mampu menjadi pendengar yang baik, memahami lawan bicara, bisa menumbuhkan empati, dan menyebarkan inspirasi kepada orang lain.
Dalam seni komunikasi, Choky berpegang pada tiga unsur penting, yaitu verbal, vokal, dan visual. ”Semua itu harus saling mengisi,” katanya.
Kita sering melihat orang berbicara sembari memegang telepon pintar, tanpa menghiraukan lawan bicara. ”Lama- kelamaan orang kehilangan empati. Padahal, seni berbicara mengajarkan orang berkomunikasi lewat mata, gerakan, dan sentuhan,” kata Choky.
Kelas Public Speaking di Chossi untuk kelas reguler berlangsung dua kali seminggu. Total pertemuan 10 kali. Setiap peserta kelas mahasiswa diberikan harga Rp 4,8 juta, lebih rendah dibandingkan harga umum Rp 5,8 juta.
Mengolah kata
Saat ini, banyak mahasiswa yang merasa perlu belajar berbicara di depan pulik. Salah satunya, Felicia Putri Tjiasaka, yang pernah mengikuti kelas reguler public speaking Merry Riana Campus Ambassador (MRCA) tahun 2015. Di sini, para peserta harus bersaing untuk mendapatkan kursi.
Ada lima tahapan seleksi, dimulai dari seleksi berkas/dokumen, tes tertulis, penugasan membuat poster, video campaign, hingga eliminasi. ”Kalau mau masuk ke sini, pakai uang saja enggak cukup,” kata mahasiswi Fakultas Bisnis President University itu.
Felicia mengatakan memperoleh banyak pelajaran selama mengikuti 12 sesi. Selain cara mengolah kata-kata, ia juga dihadapkan dengan tugas- tugas yang menempa kepercayaan dirinya berbicara di depan banyak orang.
”Kami diajarkan bagaimana cara mengolah kata-kata dengan lebih baik. Sering kali Merry Riana membawa tokoh-tokoh ternama saat monthly session. Kita jadi terhubung dengan orang-orang hebat dan tahu jalan pikiran mereka juga,” katanya.
Mengasah rasa
Di era teknologi informasi sekarang, sebagian orang mengabaikan pentingnya berbicara langsung. Mereka memilih berkomunikasi dengan gadget di tangan.
”Dengan cara seperti itu, kita jadi lebih gampang berkonflik, termasuk juga dengan generasi muda,” kata pendiri dan fasilitator Soul of Speaking (SOS), Rani Badri Kalianda.
Saat ini, jarang ditemukan pemimpin muda yang jago bicara. ”Menjadikan seseorang hebat, jago ngomong, pintar berorasi itu mudah. Tetapi, saat ini diperlukan seseorang yang jago presentasi dengan penuh cinta,” kata Rani.
Di SOS, peserta pelatihan diberikan tiga materi pokok, yaitu teater, jurnalistik, dan psikologi. Semua itu diharapkan bisa bikin peserta mampu menyampaikan gagasan, menggerakkan orang lain, dan menginspirasi.
”Dengan ilmu teater, seseorang bisa piawai menghidupkan karakter. Ditambah ilmu jurnalistik, biar tak kehabisan kata-kata dan terstruktur. Kita bicara bukan hanya sekadar menerangkan sesuatu, melainkan membuka imajinasi dan ruang berpikir,” kata Rani.
Sejak dibuka tahun 2010, lebih dari 40.000 peserta telah menikmati manfaat pelatihan public speaking di SOS, termasuk mahasiswa yang mendapat beasiswa melalui Karya Salemba Empat (KSE).
Menurut Rani, banyak anak muda datang ke SOS untuk belajar public speaking agar bisa meraih mimpi yang lebih besar. ”Tetapi, ada juga yang karena disuruh orang tuanya, dengan alasan karena suka menentang,” katanya.
Rani menyayangkan pelatihan komunikasi yang lebih banyak mengutamakan teknik sehingga jarang menggali rasa. ”Kehebatan Bung Karno bukan pada pandai berbicara, melainkan pandai membuka imajinasi membuka pikiran sehingga membuat kita merasa merdeka itu indah. Kita berbicara untuk kepentingan orang lain, bukan untuk kita sendiri,” ujarnya.
Jadi, apakah sudah siap berbicara di depan publik? Silakan memilih belajar ya biar berani dan keren tampil di depan
publik. (SIE/JAL/*)