Tahun 2017 ini, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama atau IPNU berusia 63 tahun. Pada usianya yang matang, perkumpulan itu telah berperan memberikan sejumlah program produktif bagi pemuda-pemudi NU.
Pada perayaan ulang tahun itu, IPNU menggelar banyak acara, seperti reorganisasi, pelatihan kader, social branding, dan tadarusan kebangsaan. Dengan mengusung tema ”Meneguhkan Peran Pelajar dan Santri dalam Meneguhkan NKRI”, acara-acara itu diikuti anggotanya yang berusia 15 tahun sampai 27 tahun.
Salah satu acara tersebut adalah pelatihan jurnalistik bagi pelajar dan santri di Pondok Pesantren Ekonomi Darul Ukhwah, Kedoya, Jakarta Barat, 17-19 Februari. Acara itu diikuti sekitar 63 peserta dari sejumlah daerah di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Ditemui di sela-sela pelatihan, Ketua Umum PP IPNU Asep Irfan Mujahid (27) mengungkapkan, pelatihan jurnalistik bisa mendorong santri semakin melek literasi. Pengasuh Ponpes Ekonomi Darul Ukhwah, KH Marsudi Syuhud, berharap santri peserta pelatihan jurnalistik mau berbagi pengalaman dengan rekan-rekan sesama santri di daerahnya masing-masing.
Pada kesempatan itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Andre Darwis menambahkan, selain melek literasi, santri juga diharapkan mampu menjadi penulis yang bijak. ”Penulis yang bisa menghasilkan tulisan yang memiliki makna dan dampak positif serta mampu mengubah perilaku pembaca karena ada hikmah yang bisa dipetik,” kata Andre yang juga mantan anggota IPNU.
Mengenal IPNU
IPNU berdiri di Semarang, Jawa Tengah, 24 Februari 1954. Setahun kemudian, tepatnya pada 3 Maret 1955, dideklarasikan Ikalan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Kedua organisasi itu didirikan karena sebelumnya sudah terbentuk organisasi untuk pemuda-pemudi Nahdlatul Ulama (NU) di sejumlah daerah. Organisasi-organisasi tersebut tidak berhubungan karena tak ada wadah untuk itu.
Seperti dikutip dari situs www.ipnu.or.id, organisasi pemuda-pemudi NU itu antara lain Mubaligh Nahdlatul Ulama yang berdiri tahun 1950 di Semarang, lalu di Kediri, Jawa Timur, ada Persatuan Pelajar NU pada 1953. Di Bangil, Pasuruan, ada pula Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, dan di Medan pada 1954 berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.
Ide untuk menyatukan organisasi pemuda-pemudi dari sejumlah daerah itu muncul di Semarang ketika berlangsung Muktamar Ma’arif pada 24 Februari 1954. Usulan itu diajukan pelajar dari Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Peserta muktamar menerima usulan tersebut sehingga dibentuklah IPNU. Kini, di tingkat provinsi ada 30 pimpinan wilayah IPNU, dan sekitar 409 pimpinan cabang untuk tingkat kabupaten.
Umi Wardatul Aslamiyah (22), salah seorang anggota yang juga menjadi peserta pelatihan, bercerita, ia mengenal IPNU/IPPNU tahun 2013 saat tinggal di Pondok Pesantren Darul Ukhwah Jakarta.
”Sebelumnya, saya tahunya cuma OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah),” kata perempuan asal Bongka Makmur, Kecamatan Ulu Bongka, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah, itu.
Bahkan, selama tinggal dan belajar di Pondok Pesantren An-Nur di Tebing Suluh, Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pun, Umi belum mengenal IPNU/IPPNU.
”Begitu tahu, saya menjadi anggota. Meskipun tidak aktif sekali karena saya masih kesulitan membagi waktu untuk
belajar dan mengaji,” kata lulusan D-3 Jurusan Perbankan Syariah STAINU Jakarta kampus C ini.
Menjadi anggota IPNU/IPPNU, dia mendapat tambahan wawasan, teman dan jejaring. ”Misalnya, bulan lalu saya ikut diskusi tentang kekerasan seksual di gedung PBNU (Jalan Kramat Raya, Jakarta),” katanya.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU): Adam/Syarief/Wardah/Sabar/Magfiroh/Wiji
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.