Argumentasi
Miguel Angelo Jonathan, Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin, Universitas Negeri Jakarta
Buku cetak dapat dikumpulkan sebagai koleksi. Koleksi buku cetak sangat berbeda dibandingkan memiliki banyak e-book. Perjuangan dalam mendapatkan buku cetak juga memberikan kenangan mendalam bagi kita, seperti bagaimana susahnya mengumpulkan uang untuk membeli suatu buku dan mendapatkan buku yang sudah langka. Sementara itu, e-book dapat dengan mudah kita unduh melalui internet.
Menjadi Andalan
Ivo Alnora Hutauruk, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Bagi mahasiswa IPB, buku cetak masih menjadi andalan meski kurang praktis dibawa ke mana-mana. Apalagi masih banyak dosen yang mengharuskan mahasiswa memiliki buku cetak untuk referensi kuliah. Hingga saat ini, kawasan Kober di sekitar kampus Universitas Indonesia dan Pasar Senen, Jakarta Pusat, menjadi tempat favorit mahasiswa IPB dalam berburu buku.
Selain dekat dan mudah diakses dari Bogor, dua tempat itu menawarkan buku-buku dengan harga miring. Tentu saja, mahasiswa akan mencari harga yang murah untuk sebuah buku cetak.
Untuk keperluan sidang dan penelitian, buku cetak sangat diperlukan sebagai bahan referensi meskipun untuk memiliki buku cetak, mahasiswa perlu merogoh kocek. Sementara itu, buku elektronik bisa diperoleh secara gratis.
Penggunaan buku cetak masih menjadi favorit karena dianggap lebih nyaman dan menyenangkan. Hal ini karena untuk menggunakan buku elektronik, pembaca harus terus berada di depan layar. Selain membuat mata mudah lelah, pancaran radiasi yang dihasilkan layar telepon pintar atau laptop juga tidak baik bagi kesehatan.
Tak Terbatas Waktu
Mochammad Nurcholis, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jember
Saya masih membeli buku walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit jika dihitung per tahun. Biasanya saya membeli di toko buku meski sudah banyak penjual buku cetak di media sosial. Kalau di toko buku, kita bisa mendapat buku-buku terbaru. Sementara apabila ingin mencari buku terbitan lama, bisa lewat media sosial.
Apa asyiknya membaca buku? Asyik dong. Selain buku yang bersifat nyata, ada wujudnya, juga ada kenangannya. Buku dapat menjadi simpanan yang berharga. Membaca buku tidak ada batasan waktu minimal dan maksimal. Kapan pun dan di mana pun kita mau membaca buku, kalau ada bukunya, bisa saja.
Kemudahan mengakses buku elektronik memang memberikan kenyamanan dalam ruang dan waktu. Namun, kalau untuk membaca buku, artikel, dan esai, menurut saya sendiri, lebih enak dari buku dibandingkan gawai.
Hanya Disimpan
Fransisca Wahyu Indriastuti, Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tugas-tugas kuliah, seperti membuat makalah dan laporan praktikum, membuat saya dan teman-teman menjadi seorang mahasiswa yang aktif mencari referensi. Biasanya dosen atau asisten dosen meminta kami mencari lebih dari tiga sumber referensi sebagai acuan. Dari sumber referensi, dua di antaranya harus berupa buku cetak. Untungnya, perpustakaan kampus memiliki koleksi buku lengkap sehingga mahasiswa tidak kesulitan mencari buku yang diinginkan.
Menurut saya, buku cetak lebih pas dijadikan bacaan untuk belajar dibandingkan buku elektronik. Sementara buku elektonik lebih praktis dibandingkan buku cetak. Mahasiswa dapat menyimpan lebih dari satu buku elektronik dalam satu gawai. Hal ini tentunya memudahkan mahasiswa membuka buku referensi kapan pun dan di mana pun.
Di sisi lain, hal ini juga membuat mahasiswa cenderung jadi malas untuk membaca. Bisa saja, karena terlalu menggampangkan, mahasiswa menunda waktu untuk membaca buku elektronik yang ia miliki. Alhasil, banyak buku elektronik yang tersimpan dalam gawai, hanya akan tersimpan kemudian hilang. (SIE)