Asyik dengan Buku Cetak
Perkembangan teknologi informasi menawarkan beragam pilihan untuk mendapat referensi kuliah. Akses internet yang semakin mudah juga meringankan mahasiswa untuk mendapat ”e-book” (buku elektronik). Namun, sebagian mahasiswa masih berasyik masyuk dengan buku cetak.
Buku cetak, baik untuk bahan kuliah maupun pengetahuan umum, masih memikat hati sebagian besar mahasiswa. Lebih khusus, untuk mahasiswa yang lagi sibuk menyusun skripsi.
Selasa (25/4) siang itu, beberapa mahasiswa memadati meja belajar di Perpustakaan Pusat Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ). Beberapa mahasiswa duduk berkelompok sambil berdiskusi. Ada juga yang duduk sendirian, asyik memelototi komputer jinjing alias laptop.
Hampir semua pengunjung perpustakaan itu membuka laptop sambil sesekali membuka buku. Suhu ruangan yang dingin, meja yang bersih, serta fasilitas buku gratis yang lengkap memang memanjakan para mahasiswa. Di UPNVJ, selain perpustakaan pusat, setiap fakultas juga memiliki perpustakaan.
Kampus juga menyediakan fasilitas akses internet di Plaza Internet Sumari Prawirowijono. Di lokasi itu, ada beberapa meja yang selalu penuh dengan para mahasiswa. Suasananya lebih ramai. Colokan listrik serta akses Wi-Fi yang lancar menjadi andalan para mahasiswa untuk mengerjakan tugas.
Kebutuhan buku cetak masih dirasakan oleh mahasiswa, terutama bagi yang berjibaku menyusun skripsi. Salah satunya dialami Kyla Nathania, mahasiswa Jurusan Manajemen Informatika, UPNVJ, yang duduk sendiri sambil mengetik di laptop. Dia sedang membuat tugas akhir dengan mengambil tema dokumen pengadaan barang. Beberapa buku tentang internet diletakkan di samping laptop. Gadis itu sedang mencari referensi mengenai pengertian sistem informasi manajemen.
”Dosen mewajibkan mahasiswa mempunyai referensi dari buku cetak. Kalau hanya dari internet, dosen enggak mau. Takutnya, mahasiswa hanya copy paste untuk tugas akhirnya. Apalagi kalau mengenai pengertian sebuah ilmu. Referensi buku cetak mempunyai kredibilitas lebih tinggi daripada lewat internet (terutama, jika tak disertai sumber jelas),” katanya.
Menurut Kyla, pada semester- semester sebelumnya, dia jarang memakai buku cetak untuk bahan perkuliahan. ”Beberapa dosen malah menggunakan modul lewat internet, atau kasih link untuk bahan kuliah,” katanya.
Meski demikian, Kyla masih membaca buku cetak, terutama bila ingin mendapat hiburan dengan membaca novel. Untuk mencari novel, ia mendatangi toko buku. ”Tapi kalau mencari buku-buku ilmu pengetahuan gitu sudah jarang banget. Saya lebih pilih mencari lewat internet,” kata Kyla.
Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang masih mencari sekaligus lebih suka membaca buku cetak untuk keperluan akademik ataupun non- akademiknya. Salah satunya mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, UPNVJ, Haris Prabowo. Meskipun buku elektronik dapat diunduh gratis, ia masih gemar membaca buku cetak, baik untuk keperluan kuliah maupun bacaan sehari-hari.
Pemuda itu mengaku tak terlalu suka membaca melalui layar gawai atau laptop. Uniknya, Haris selalu lebih penasaran ketika membaca buku cetak dengan membalikkan lembar demi lembar kertas. ”(Rasanya lebih asyik) ketimbang scrolling di e-book. Apalagi ada semacam bau sangat adiktif ketika membuka buku baru dari plastiknya, ha-haha,” ungkapnya.
Dalam sebulan, Haris bisa menyisihkan Rp 100.000 sampai Rp 200.000 dari uang sakunya untuk membeli buku. Sebagian besar buku itu tentang sejarah, budaya, sosial, dan filsafat. Untuk itu, ia mencari ke beberapa toko buku. Ini merupakan perjuangan tersendiri yang tak dapat ia rasakan ketika mencari buku di internet.
Bagi mahasiswa asal Aceh itu, buku cetak mempunyai beberapa kelebihan. Meski demikian, ia juga mengaku e-book menjadi lebih mudah dibawa ke mana pun melalui gawai.
Beberapa dosen di kampus memang mengharuskan mahasiswa membaca buku cetak, terutama untuk memahami istilah ilmu hukum dari para ahli. ”Dosen memberikan judul sekaligus penulis bukunya,” katanya.
Menandai buku
Mahasiswa membaca buku cetak sebagai referensi bahan kuliah karena ditugaskan para dosen. Banyak dosen memang tak bisa serta-merta menyingkirkan kebutuhan buku cetak di era digital ini.
Contohnya, Ahmad Zakky, dosen Jurusan Bahasa Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia masih menggunakan buku cetak dalam mengajar semua mata kuliah, salah satunya Multicultural Novels. Tak jarang, dia mengimbau mahasiswanya untuk membeli buku cetak.
Menurut Zakky, dengan menggunakan buku cetak, mahasiswa lebih nyaman dalam membaca atau mempelajari materi lantaran bisa dicorat-coret atau diberi garis bawah untuk menandai hal-hal penting. Selain itu, apabila membaca buku elektronik, mahasiswa tidak mampu membaca sampai berpuluh-puluh halaman. Itu berbeda dengan buku cetak yang bisa dibaca sampai puluhan halaman sekaligus.
Sejauh ini, respons mahasiswa terhadap imbauan untuk membeli buku cukup baik. Namun, terkadang mahasiswa masih mengeluh lantaran buku yang dibelinya dapat diakses melalui internet dengan gratis. ”Biasanya yang saya suruh cari, ya, buku-buku terkait karya sastra, seputar karya sastra, dan teori sastra,” kata Zakky.
Di lain sisi, memang diakui, dengan akses internat yang mudah, mahasiswa bisa mengakses berbagai pilihan buku elektronik sesuai kebutuhan dan keinginan. ”Kadang-kadang, saya juga menggunakan buku elektronik untuk menunjang bahan kuliah atau tugas yang saya berikan kepada mahasiswa,” ujarnya.
Di era digital yang semakin maju ini, keberadaan buku cetak sepertinya belum bisa tergantikan. Pilihan ada di tangan para mahasiswa. Lebih suka membaca dengan memegang lembar-lembar kertas buku atau memelototi layar gawai.
Semuanya sudah tersedia. Mulai dari novel fiksi yang imajinatif sampai buku bahan kuliah yang bikin kening berkerut, semuanya beredar dalam bentuk buku cetak ataupun buku elektronik. (SIE/*)