Jangan Nyampah Saat Naik Gunung
Naik gunung menjadi semacam tren liburan belakangan ini. Pendaki dari bermacam usia dan latar belakang hilir mudik di gunung bila mana liburan tiba. Saya sering bertanya apa alasan mereka memilih mendaki gunung.
Jawabannya beragam, mulai ingin bertualang; refreshing; olahraga; menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, pacar, berburu foto; hingga mencari jati diri. Alasan itu kebanyakan hanya untuk keuntungan sepihak para pendaki. Lalu, apa yang didapat ”Si Gunung”? Jawabannya sering kali sampah.
Pada 25 Maret lalu, saya dan tiga teman, Ichsan, Rizky, dan Yandi, berkesempatan mencapai puncak Gunung Nemangkawi, Papua. Kami adalah mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Pencinta Alam Palawa Unpad. Pendakian ke titik tertinggi Indonesia ini berjudul Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi.
Kami membawa misi untuk kampanye pendakian tanpa sampah. Fenomena banyaknya sampah di gunung mendorong kami menginovasi gaya baru dalam pendakian. Kami menyebutnya Zero Waste Mountaineering.
Selain merupakan puncak tertinggi negeri ini, Gunung Nemangkawi juga satu dari Tujuh Puncak Dunia (The Seven Summits). Tingginya 4.884 mdpl. Gunung ini lebih dikenal sebagai ”Carstensz Pyramid”. Padahal, jauh sebelum itu, suku Amungme, penduduk asli dataran tinggi Papua, menamainya Nemangkawi. Artinya, panah putih, sesuai dengan bentuknya yang runcing dan tertutup salju kala itu. Selain mengampanyekan pendakian tanpa sampah, kami juga ingin memopulerkan nama asli gunung tertinggi di lempeng Benua Australia, Nemangkawi.
Zero Waste Mountaineering adalah pekerjaan mudah, tetapi bisa menghentikan kebiasaan buang sampah di gunung itu sulit. Kami mencoba mengemas ulang perbekalan pendakian ke dalam wadah-wadah reusable sebelum berangkat ke Nemangkawi.
Cuaca ekstrem
Lembah Kuning adalah tempat yang kami tentukan sebagai lokasi kemah terakhir sebelum melakukan pendakian ke puncak Nemangkawi. Di lokasi berketinggian 4.250 mdpl ini, saya mendapati setumpuk sampah yang tak habis dibakar. Ada piring, tabung gas, cangkir, kaleng, sarung tangan, botol plastik, dan sisa bungkus makanan lainnya. Jengkel memang melihatnya.
Saya tidak heran. Hampir di semua gunung yang pernah saya daki, sampah menghiasi area kamp. Bahkan, ada sampah pakaian dalam dan celana.
Perjalanan menuju puncak Nemangkawi kami lakukan sejak pukul 03.30 agar bisa sampai ke puncak saat tengah hari. Jarak puncak dari kemah kami sebenarnya tidak lebih dari 3 kilometer. Selisih ketinggiannya pun hanya sekitar 600 mdpl. Namun, medan yang ekstrem membuat perjalanan ini berasa nyaris mustahil dilakukan.
Bayangkan saja! Kami diguyur hujan air dan es hampir selama 16 jam perjalanan pulang pergi. Kami mesti memanjat tebing dengan panjang lintasan ratusan meter dan menyeberangi celah yang lebarnya sekitar 15 meter dengan hanya meniti seutas wayer besi sebagai pijakan dan dua utas lagi di kiri-kanan sebagai pegangan. Kami juga masih harus melangkahi tiga celah tebing yang lebarnya 1-2 meter, barulah kami bisa mencapai puncak. Sungguh pendakian yang ekstrem.
Kadar oksigen yang tipis juga turut mempersulit perjuangan kami di ketinggian lebih dari 4.300 mdpl ini. Dengan persediaan oksigen yang kurang, kecepatan tubuh untuk bergerak dan berpikir juga menurun. Kalau dipaksakan bergerak cepat, bisa terjadi penumpukan cairan di otak atau paru-paru atau keduanya.
Zero Waste Mountaineering memberi banyak kemudahan di kondisi ekstrem seperti pendakian Nemangkawi. Kami yang banyak istirahat selama pendakian bisa menikmati cemilan dengan mudah. Semua cemilan sudah kami kemas di satu wadah dan siap makan. Kami tak perlu lagi susah payah merobek plastik kemasan. Tak perlu lagi membongkar ransel dan mencari cemilan yang berpencar entah di mana.
Kami tiba di puncak pukul 11.30. Hujan es menemani perayaan kami mencapai tempat ini. Kabut mengelilingi kami 360°, tak ada yang bisa dipandang selain puncak dengan pelat bertulis ”Carstenzs Pyramid 4.884 mdpl” dan sebuah bendera Merah Putih yang terpancang di atasnya.
Apabila cuaca cerah, puncak ini sungguh memberikan pemandangan yang indah. Ada Laut Arafuru apabila menatap ke selatan. Ada Grasberg, tambang emas terbesar dunia, di sebelah barat. Ada puncak-puncak yang masih tertutup salju abadi di sebelah timur dan utara. Kami tiba kembali di kemah pukul 20.00 pada hari yang sama. Hujan masih turun sehingga kami basah kuyup.
Setelah menuntaskan misi ke puncak negeri, Tim Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi masih terbilang sehat meski sempat menggigil hebat. Kami bahagia karena misi kami berhasil: mendaki gunung tanpa meninggalkan sampah secuil pun.