Harta, Takhta, Wanita, dan Kuota
Harta, takhta, wanita, dan kuota. Empat hal itu menjadi prasyarat penting untuk membangun kesempurnaan hidup seorang pemuda zaman sekarang. Kok bisa kuota menjadi sejajar dengan harta, takhta, wanita? Ya, soalnya dengan kuota internet, kaum muda zaman sekarang bisa mengakses bermacam informasi sekaligus eksis di media sosial.
Untuk memahami situasi itu, ada baiknya kita simak perilaku para remaja atau pemuda dalam memanfaatkan fasilitas internet gratis alias Wi-Fi.
Kita mulai dari Ahmad Aunurohman (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi. Ia harus menempuh jarak sekitar 15 kilometer dari rumahnya di Desa Karang Bendo, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, untuk bisa sampai ke pendopo Sayu Wiwit di Taman Makam Pahlawan Wisma Raga Satria, Kota Banyuwangi, demi mendapatkan Wi-Fi. Jarak bukan penghalang bagi pemuda itu demi mendapat akses internet yang cepat-gratis.
”Di Rogojampi, ada tempat-tempat yang menyediakan Wi-Fi, misalnya di kantor Telkom dan di kantor Kecamatan Rogojampi. Namun, di tempat tersebut, saya harus membayar
Rp 5.000 hingga Rp 6.000 agar bisa mengakses internet. Kalau di sini
(Pendopo Sayu Wiwit) gratis,” ujarnya saat ditemui, Rabu (24/5) malam.
Ahmad mengaku, dalam minggu ini sudah empat hari berturut-turut ia berburu Wi-Fi di taman makam itu. Rata-rata, ia menghabiskan waktu sekitar empat jam dalam sehari untuk berselancar di dunia maya.
”Biasanya saya memanfaatkan fasilitas Wi-Fi gratis ini untuk mengerjakan tugas atau mencari bahan skripsi. Tapi, khusus empat hari terakhir ini saya banyak mengunduh film untuk persiapan mengisi bulan Ramadhan,” tuturnya.
Remaja bertubuh jangkung itu berharap fasilitas Wi-Fi gratis semakin diperbanyak hingga ke pelosok desa. Hal itu perlu agar pengguna layanan tersebar dan tidak mengumpul di titik tertentu.
Serupa dengan itu adalah kisah Firmansyah (16). Pemuda itu banyak mengandalkan layanan Wi-Fi di kantor Kecamatan Kertosari, Banyuwangi, meski untuk itu ia harus ”ngemper” di luar pagar kecamatan. Ia merasakan manfaat fasilitas itu. Namun, ia kerap terkendala masalah pengisian daya.
Firman mengaku, ”daya juang” berburu Wi-Fi kerap terhambat daya gawai yang terbatas. ”Kalau lagi mengunduh film, lalu baterai habis, ya mau tak mau harus pulang dulu untuk mengisi baterai. Nanti kalau sudah penuh, balik lagi melanjutkan unduhan,” ujarnya.
Berhemat
Firman mengaku, perburuan Wi-Fi gratis tersebut ia lakukan untuk menghemat pengeluaran pembelian kuota internet untuk gawainya. Untuk keperluan sehari-hari yang tidak membutuhkan transfer data yang besar, ia biasa menggunakan kuota internet pribadinya. Akan tetapi, untuk mengunduh dokumen atau film yang berkapasitas besar, ia biasa menggunakan layanan internet gratis.
Internet juga menjadi kebutuhan primer Avinda Mutiara Hikmah, mahasiswa jurusan Manajemen Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Jawa Tengah. Dia sering berburu Wi-Fi di kafe di sekitar kampus. Di kota itu kini ada 21 Wi-Fi corner. Di situ, pengguna wajib membeli kupon seharga Rp 6.000 untuk 24 jam. Selain untuk mencari informasi akurat, Vinda membutuhkan Wi-Fi gratis juga untuk menonton televisi online. Ia suka menonton pertandingan sepak bola bersama teman-teman dan film animasi.
Demikian pentingnya fasilitas Wi-Fi gratis bagi kaum muda di Banyuwangi dan Purwokerto, dan daerah-daerah lain di Nusantara. Bagi mereka, Wi-Fi atau kuota internet adalah senjata vital untuk menjadi manusia yang melek informasi di zaman digital ini.
Untuk menggambarkan kenyataan unik itu, bahkan mereka punya perumpamaan yang agak bombastis. ”Kalau dulu laki-laki takluk dengan tiga hal, yakni harta, takhta, dan wanita. Sekarang menjadi empat, yaitu harta, takhta, wanita, dan kuota. Jangan sampai kuota habis gara-gara download film, bisa mati gaya kita,” ujar Ahmad di Banyuwangi, seraya terkekeh-kekeh.
(GER/*)