Perjalanan Berbekal Lagu dan Jamu
Mereka adalah duo, tetapi punya tiga teman lain, Alam Segara (bas), Andi Irfanto (drum), dan Vicky Unggul (kibor), untuk mengiringi aksi pentasnya. Stars and Rabbit memainkan musik pop diiringi petikan gitar akustik sehingga terasa folk. Belakangan mereka sering kolaborasi dengan duo elektronik, Bottlesmoker.
Album perdana mereka, Constellation keluar pada 2015. Namun, sebelum album itu lahir, mereka sangat rajin manggung. Materi lagunya yang kelak masuk album dipajang pula di berbagai situs penyedia lagu, seperti MySpace, Soundcloud, dan Facebook. Dari internet itulah, mereka mendapat pendengar dan kenalan-kenalan baru.
”Sebulan setelah posting lagu di internet, sempat bingung mau ngasih tahu ke mana lagi ya. Tiba-tiba ada sebuah majalah online dari Inggris yang mengirim e-mail minta wawancara untuk profil. Waaow... ternyata musik kami sampai di sana. Itu seperti little thing called miracle,” kata Elda yang bahasa Inggrisnya fasih itu.
Setelah berbincang-bincang dengan majalah itu, ada ”keajaiban kecil” lainnya. Seorang audio engineer Inggris bernama John Davis kepincut dengan musikalitas Stars and Rabbit. Jadilah mereka kerja sama. Lagu-lagu mereka di album Constellation dipoles engineer yang pernah menggarap FKA Twigs, Blur, dan Lana Del Rey itu.
Tur di Inggris
Setelah album kelar, ”keajaiban” itu masih berlaku. Koneksi yang terbangun memantik ide untuk berani melangkah ke seberang, maksudnya tur mini ke luar negeri. Jadilah pada 23 Mei hingga 14 Juni 2015 mereka menggelandang ke Malang, Bali, Shenzen (Tiongkok), Hongkong, Guangzhou (Tiongkok), Manila (Filipina), dan berakhir di Jakarta demi mengenalkan albumnya.
”Di sela-sela tur Asia dulu itu, kami sering kepikiran main di Inggris karena musiknya sudah sampai sana, tetapi orangnya belum. Mungkin suatu saat bisa main di sana (Inggris), di acara apa kek. Iseng aja. Pikiran iseng itu kami pelihara,” kata Adi, yang selain memetik gitar di panggung juga mengaransemen lagu-lagu ciptaan Elda.
Pikiran iseng itu menjadi kenyataan pada Oktober 2016. Elda dan Adi bersama tim manajemen mereka merancang tur yang diberi judul Baby Eyes. Stars and Rabbit tampil di Cardiff (Wales) dan Brighton, serta dua show di London (Inggris). Manajer mereka, Riva Pratama, rupanya menjaga koneksi dengan orang- orang musik yang mereka temui di konferensi Music Matters Baybeats, Singapura, pada 2012.
”Ada juga teman kami Stewart yang tinggal di Inggris. Dia membantu mencari satu venue,” kata Elda. ”Kami juga mencari venue lain di internet, regulasinya seperti apa, karakter arenanya seperti apa. Kalau venue-nya dirasa tidak cocok dengan musik kami, pengelolanya akan kasih tahu kok,” ujar Adi.
Mereka mengajukan banyak permintaan tampil di wilayah Inggris melalui internet. Namun, yang jadwalnya pas adalah empat pertunjukan. ”Kami enggak nyangka lho (bisa tur) di Inggris,” ujar Adi. Mereka mengaku didukung Kedutaan Besar Inggris dan Indonesia, terutama untuk urusan visa.
”Kami sampai dijemput di bandara, dikasih wisma, dan dibikinkan jadwal wawancara dengan televisi berita setempat. Oh my God, it’s so amazing!” kata Elda.
Subsidi silang
Walau sudah main di London, yang sering dianggap sebagai Mekkah-nya musik pop, mereka masih memendam hasrat tampil di satu negara Asia, yaitu Jepang. Keinginan itu pelan-pelan diwujudkan bersama tim manajemen, juga label mereka, Green Island Music.
”Kami (Stars and Rabbit) dan label sama-sama butuh tantangan. Label kami sudah punya program supaya ketahuan targetnya. Ini (show) bisa menghasilkan di sini, value-nya seberapa besar,” kata Elda.
Mereka menerapkan sistem subsidi silang untuk mengongkosi proyek idaman sendiri, seperti tur luar negeri atau bikin konser tunggal. Apalagi, mereka tidak mengejar keuntungan finansial dari tur luar negeri.
”Terlepas dari uang, pengalamannya (menjalani tur) itu yang lebih menguntungkan,” kata Adi.
Elda dan Adi tak terlalu mengurusi seluk-beluk manajerial. Namun, mereka selalu ada di setiap keputusan yang diambil manajemen dan label.
Akhirnya mulai 2 Mei lalu, mereka berangkat dari Jakarta menuju Tokyo dalam seri kedua tur Baby Eyes. Pentas pertama mereka di tempat bernama Grapefruit Moon berlangsung pada 4 Mei. Berikutnya, mereka bergeser ke Hanoi, Vietnam, main di Palembang, dan bertolak lagi ke Kuala Lumpur. Rangkaian itu ditutup di Lemmon Studio, Jakarta, pada Minggu (14/5) lalu.
Menjelang keberangkatan tur itu, jadwal mereka sangat padat. Dalam satu minggu bisa tiga kali pentas, bahkan lebih. Setiap kali ada jadwal manggung, ”jam kerja” mereka, juga anak band pada umumnya, bukan cuma 90 menit atau 120 menit di panggung. Mereka harus siap di arena jauh lebih lama dibandingkan kalian para penonton, untuk cek suara dan cek tata lampu. Besoknya harus bersiap di arena lain.
”Yang kami khawatirkan kesehatan. Sebenarnya asal makannya benar, badan bakal fit terus. Tetapi, kalau kegiatannya padat seperti ini, aku mesti ditopang jamu; jinten hitam, kulit manggis, temulawak, meniran. Itu aku harus bawa daripada susah cari di sana (luar negeri),” kata Elda.
Sementara Adi mengaku perlu menjaga jam tidur, tetapi juga menyempatkan diri main gim supaya mental tetap sehat.
Resep itu manjur juga. Stars and Rabbit sukses menjalani turnya. Mereka pulang ke Tanah Air dan beraksi di show penutup di Jakarta dalam kondisi sehat. Rencana-rencana berikutnya kembali dirancang, entah tur ke kota-kota kabupaten di Indonesia, entah konser tunggal kedua.
Dua hal itu yang bikin mereka kecanduan.
”Tetapi, kami enggak bisa kasih tahu sekarang. Kalau sudah fixed sajalah dikasih tahu…,” ujar Elda.