Raungan Metal Putri Garut
”Aah, itu kapan?” tanya Euis (16), setengah teriak.
”Wah ketemu JRX, nge-fans, he-he-he,” timpal Firda yang akan berumur 17 tahun akhir Juni ini. JRX yang dimaksud adalah Jerinx, pemain drum trio asal Bali yang penggemarnya bejibun itu.
”Itu bulan sekarang?” tanya Widi (15), seolah tak percaya. Ia lantas mencari tahu lagu ’Jadilah Legenda’ itu lewat ponselnya.
Ersa yang dipanggil Abah oleh mereka ini menjelaskan, acaranya 16 Juni di acara Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Kamis (8/6) dini hari, akun Instagram Superman is Dead telah mengunggah rencana kolaborasi itu.
Kolaborasi itu bakal jadi kerja sama pertama mereka dengan band besar. Selama tiga tahun terakhir ini, mereka menyambangi panggung festival di sekitar Garut dan juga main di acara sekolahan.
Kegiatan mereka memang makin sibuk setelah video penampilan panggung yang dipasang di Facebook dan Youtube menjadi viral di dunia maya. Beberapa media massa nasional mulai mengendus keberadaan mereka pada April 2017. Pada bulan itu pula, Voice of Baceprot, yang bisa diartikan sebagai suara-suara bawel, main di acara televisi Dahsyat yang juga disimak secara langsung oleh personel band Nidji. Kiprah mereka pun tertangkap oleh kantor berita Inggris, Reuters.
Sejak itu, trio ini bolak-balik Garut ke Jakarta untuk tampil di studio televisi ataupun radio nasional. Setiap main, mereka betul-betul tampil live, bukan minus one atau lip sync. Seperti pada Rabu kemarin, mereka membawakan lagu ciptaan sendiri, ”The Enemy of Earth is You” dan ”Jalan Kebenaran”, serta menjawab wawancara di studio Kompas TV.
Selain dua lagu itu, mereka punya dua lagu orisinal lain, yaitu ”School Revolution” dan ”Age Oriented”. Mereka bertiga mengaransemen musiknya dengan supervisi dari Ersa. Sementara departemen lirik disusun Esra berdasarkan curhatan dan tulisan-tulisan mereka. ”Saya mencarikan diksi yang enak untuk dipakai di dalam lagu,” kata Esra.
Lagu ”The Enemy” yang jadi singel pertama itu bercerita tentang kemunafikan. ”Lagunya untuk orang-orang atau oknum yang mencitrakan diri sebagai pembela kemanusiaan, pembela alam, penyebar kebaikan. Padahal, mah, mereka menebar kebencian, menciptakan perang,” repet Firda panjang lebar.
Topik itu kontekstual dengan fenomena ujaran kebencian yang marak saat ini, ya.
Lagu ”School Revolution” bercerita tentang kehidupan mereka sebagai pelajar dan kekecewaan terhadap sistem pendidikan. Sementara lagu ”Jalan Kebenaran” mereka anggap sebagai lagu religius. Lantas lagu ”Age Oriented” tentang apa?
”Kami kecewa waktu enggak boleh main di sebuah acara yang ada batasan usianya, padahal itu event besar yang kami impikan. Orientasi usia itu seolah menganggap bahwa kami masih anak-anak; jangan berkarya dulu; nantilah kalau lebih tua. Itu pengalaman sendiri,” ucap Firda sambil memegang ujung kerudung hitamnya. Dua teman lainnya juga pakai kerudung berwarna sama.
Santai saja
Urusan pakaian itu juga sempat jadi kontroversi di media sosial. Banyak yang mengecam pilihan mereka, sampai-sampai ada yang merundung segala. Namun, mereka santai-santai saja menanggapinya. Euis malah terkikik geli ketika diminta tanggapannya tentang sumpah serapah itu.
Bagi mereka, musik rock dan metal yang mereka mainkan tak ada hubungannya dengan pakaian. ”Metal itu, kan, genre musik, sedangkan cara berpakaian begini adalah identitas. Identitas kami sebagai perempuan. Sebelum nge-band, pakaian kami juga sudah seperti ini,” lanjut Firda, yang diikuti anggukan teman-temannya.
Perundungan itu tak cuma terjadi di media sosial. Di lingkungan tempat tinggal dan sekolah, mereka juga merasakannya. Mereka berani menghadapinya. Apalagi ada dukungan dari para pemusik yang lebih senior di daerah mereka.
”Kami sering manggung di acara yang sama dengan mereka. Jadi kalau ngariung (kumpul) bareng kita-kita juga,” kata Febri (24), vokalis band reggae dari Garut, Dogmie Crazy. Febri dan teman satu bandnya, Reda (24), kini sering diajak jalan Voice of Baceprot sebagai awak panggung.
Semakin sering manggung dan berita tentang mereka berseliweran, tanggapan miring teman-teman sekolah mereka berubah makin menyenangkan. ”Dulu itu sering ada yang komentar nanaonan (apa-apaan), sih, nge-band segala’. Sekarang kalau kami habis manggung, mereka sering tanya bagaimana pentas kami,” kata Firda.
Fans mereka pun makin banyak. Mereka bahkan sudah punya julukan sendiri untuk para penggemar itu, yaitu Balad Ceprot. Balad adalah bahasa Sunda yang artinya ’teman’. Kata Firda, penggemarnya kebanyakan cowok.
”Masih susah cari penggemar cewek, he-he-he,” timpal Euis. Setiap selesai mentas, mereka sering diajak swafoto alias selfie.
Mereka punya keinginan besar merampungkan album di tahun ini sambil menambah jam terbang pentas. Siapa tahu, albumnya nyangkut di telinga Presiden Joko Widodo, yang katanya penggemar metal itu.