Bangun dari ”Tidur” Panjang
Dimas Ario mengingatkan Adrian untuk berhati-hati ketika kakinya berhadapan langsung dengan kaki meja. Dimas, manajer band Efek Rumah Kaca (ERK), menuntun Adrian menuju sebuah ruangan yang ditempati istrinya, Yonita, dan anaknya, Rintik Rindu, seusai membawakan lagu-lagunya dalam pertunjukan kecil di kafe Paviliun 28, Jakarta Selatan, Minggu (4/6).
Walau terbata-bata, Adrian memancarkan wajah senang pada petang itu. Dia terlihat segar dan lumayan dandy dengan topi pet menutupi rambut keritingnya. Ia pakai kemeja denim lengan panjang yang ujungnya masuk ke balik celana dan ditopang suspender.
Beberapa penonton antre minta tanda tangan di album berwarna dasar putih itu. Adrian ditunjukkan tempat, ia membubuhkan tanda tangannya. Ia tidak kewalahan, justru terlihat senang. Penggemarnya juga gembira. Gitar akustik yang ia pakai pentas sudah diamankan Muhammad Asranur, pemain keyboardnya, tepat ketika Adrian menuntaskan lagu terakhir, ”Mimpi Seperti Hidup”.
Gerak-geriknya banyak dibantu orang di sekitarnya. Itu terjadi sejak lama, ketika penglihatannya melemah sekitar 10 tahun lalu. Waktu itu ERK sedang sering-seringnya manggung. Namun, kondisi kesehatan membelenggu Adrian. Trio itu memutuskan beralih wujud jadi Pandai Besi, dan belakangan merekrut Poppie Airil sebagai pemain bas. Adrian mengakui, masa itu adalah nadir dalam kehidupannya.
”Gua sempat lama di tempat tidur doang. Titik baliknya, gua tiba-tiba mimpi yang enggak jelas artinya. Pas bangun, gua kepikiran, ini gua mau jadi orang yang kalah atau menang. Kalau mau kalah ya gampang, pasrah aja. Akhirnya gua berusaha tetap bisa ngapa-ngapain,” katanya.
Mimpi yang aneh
Adrian mengidap penyakit yang menggerogoti sistem sarafnya. Sejak 2008, penglihatannya menyempit, seperti ketika mengintip dari jendela. Kondisi itu makin memburuk hingga pada 2010, ia tidak bisa melihat sama sekali. Selain itu, kepalanya sering sakit sampai tak bisa bangun dari tempat tidur.
Semula ia diduga menderita penyakit bechet. Belakangan setelah diperiksa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ia didiagnosis mengidap retinitis pigmentosa. Adrian terbaring di tempat tidur sampai kira-kira dua tahun.
Adrian bangun dari tidurnya. Ketika masih dibayang-bayangi mimpi aneh itu, ia merengkuh gitar akustiknya. ”Barang pertama yang gua pegang adalah gitar. Gua belajar gitar lagilah. Gua harus mengalihkan pikiran gua jadi sesuatu gitu,” katanya.
Maka, dimulailah penciptaan lagu-lagunya. Ia merangkai nada demi nada dan direkam dalam ponsel. Rangkaian nada itu bagaikan sketsa yang belum terbentuk. Setelah mengumpulkan banyak ”sketsa”, beberapa lagu mulai menunjukkan bentuknya. Salah satu lagu awal yang jadi adalah ”Tidak Ada Histeria”, yang juga jadi singel pertama.
Ia menyebut lagu itu yang paling menggambarkan kondisinya saat ini. Ia membikin lagu itu ketika kondisinya masih sulit. ”Waktu bikin lagu itu, gua ngerasa suatu saat bakal lebih positif walau tidak sampai histeria. Sampai sekarang pun (setelah album jadi) masih bukan histeria. Gua berharap album ini memberikan hikmah lagi bagi gua,” ujarnya. Histeria adalah perasaan yang meluap tidak terkendali.
Bisa jadi gitar adalah alat musik yang ”menyelamatkan” Adrian pada masa awal penulisan lagu untuk album solo ini. Namun, album Sintas tak cuma berisi vokal Adrian, yang terdengar tipis, dengan iringan gitar belaka. Lagu-lagunya juga diramaikan oleh bas yang dimainkan Poppie Airil (basis ERK saat ini) dan drum (oleh Wahyu Mi Corazon). Keyboard yang dimainkan Asra dari Pandai Besi cukup dominan. Ada bebunyian ”aneh”, tapi pas membangun nuansa sendu ataupun riang di setiap lagu.
Sebagai album solo, hampir semua konsep nada masing-masing instrumen disusun Adrian. Hanya pola drum yang tidak bisa ia buat karena tidak punya alatnya di rumah. Rumahnya di daerah Rempoa merupakan tempat ia menulis lagu sekaligus sumber ide lirik-liriknya.
Tingkah polah sang anak dengan mainannya menjadi sumber inspirasi pada lagu ”Kotak Mainan”. Malahan, istrinya, Yonita Ismiati, tak cuma jadi cerita di lagu ”Terminal Laut”, tapi juga ”operator” rekaman. Ya, album ini adalah cerita-cerita personal Adrian. Tak ada lagu bermuatan politis seperti lagu ”Hilang” yang ia ciptakan untuk ERK.
Yonita, yang disebut awam soal musik, meluangkan waktu mempelajari software Nuendo, perangkat lunak dalam komputer untuk merekam lagu. ”Mau enggak mau, gua harus belajar software itu. Gua diajari Wendy dari Studio ALS yang gua suruh datang ke rumah. Sebelumnya sama sekali enggak ngerti yang begituan,” kata Yonita yang kini kerja sebagai admin sales di daerah Bintaro.
”Waktu itu, anak gua juga baru lahir. Jadi gua ngerasa dia (Yonita) benar-benar fight untuk bantu gua. Mumpung dia enggak ada, gua harus memuji dia nih, he-he-he,” kata Adrian. Yang dipuji tersipu-sipu karena ia ada di ruangan tempat kami berbincang-bincang itu.
Selain dibantu istri, Adrian juga disokong oleh teman-teman di ”keluarga besar” ERK. Cholil Mahmud, vokalis ERK, termasuk orang pertama yang mendorong Adrian merampungkan album solo.
Pada 2014, Cholil sempat manggung bareng istrinya, Irma Hidayana, di bawah nama Indie Art Wedding di sebuah kafe di Pamulang. Cholil, yang mengetahui Adrian sudah menulis lagu, mengajak karibnya itu menjadi pembuka. Itulah kali pertama Adrian manggung atas namanya sendiri.
Album Sintas diproduksi Pelampung Records, label rekaman yang mendadak dibikin Adrian demi kepentingan album ini. Ongkos produksinya ia rogoh dari kocek sendiri, tapi distribusinya diurusi Asra. Urusan gambar sampul ia konsultasikan ke Poppie yang mengusulkan nama Vira Talisa sebagai ilustratornya.
Adrian memilih kata sintas sebagai judul album untuk menggambarkan proses yang ia lewati dari kondisi terendah hingga menemukan titik balik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sintas berarti ’bertahan hidup’; ’mampu mempertahankan keberadaannya’. Ditunjukkan lewat karya album, Adrian adalah penyintas.