Saring Mulai dari Diri Sendiri
Akhir Mei 2017 beredar video berisi seorang remaja berusia lima belas tahun yang ”dikeroyok” om-om yang lebih dewasa. Di bawah tekanan, remaja ini dipaksa mengaku ia telah menghina seseorang. ”Sidang sepihak” itu rupanya bermula dari tulisan status di laman Facebook si remaja tadi.
Itu bukan kasus pertama. Sebelumnya ada seorang dokter di Sumatera Barat yang diancam orang. Para pengancam ini mendatangi tempat kerja si dokter tadi. Hulu masalahnya sama: ia menulis status Facebook yang dianggap menyudutkan kelompok tertentu.
Safenet, lembaga nirlaba yang menyoroti kebebasan berekspresi di jagat daring (dalam jaringan), menyebut tindakan pengeroyokan itu sebagai bentuk persekusi. Di kamus, arti persekusi adalah pemburuan sewenang- wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Wah, jahat sekali ya.
Lembaga tersebut menyebutkan data target korban persekusi sampai 59 orang selama periode Januari hingga Mei 2017. Kasusnya tersebar di seluruh Indonesia.
Damar Juniarto, Koordinator Safenet, menyebutkan, persekusi adalah tindakan kriminal. Karena tergolong kejahatan, pelaku persekusi bisa ditangkap polisi. Selain itu, korban persekusi juga berhak atas perlindungan dari aparat hukum.
Menurut Donny Budi Utomo dari ICT Watch, lembaga advokasi literasi digital, proses persekusi bisa diawali dengan pengumpulan data seseorang berdasarkan rekam jejak digital. Artinya, pelaku persekusi mencari tahu targetnya lewat status-status yang diunggah, foto, sampai biodata yang tertera di media sosial (Kompas, 30/5).
Berdasarkan penuturan Donny itu, tampaknya gerak-gerik kita di media sosial itu diawasi ya. Kadang-kadang pengguna internet tidak menyadari hal ini. Siapa yang menyangka bahwa informasi perihal sekolah yang tercantum di laman Facebook, misalnya, bisa menjadi sumber data bagi orang lain.
Pengguna media sosial memang bisa mengatur privasi data yang dicantumkan. Namun, bisa saja akun itu diretas orang yang beritikad jahat ataupun orang iseng. Makanya, Donny mengingatkan pengguna internet untuk memilah informasi, apalagi terkait biografi pribadi, sebelum memajangnya di media sosial.
Handri Perdana (21) adalah salah satu pengguna media sosial yang enggan mencantumkan nama kampusnya. ”Dulu waktu baru-baru bikin Facebook memang menulis nama kampus untuk menambah teman. Namun, sekarang udah enggak pakai lagi. Enggak perlu semuanya diumbar di medsos, kan,” kilahnya.
Fatwa MUI
Hari Senin (5/6), Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Dalam Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 itu, MUI beranggapan bahwa media sosial bisa bermanfaat bagi umat manusia untuk mempererat tali silaturahim, kegiatan ekonomi, pendidikan, dan kegiatan positif lainnya.
Namun, MUI tidak menutup mata bahwa belakangan sebagian pemakaian media sosial menyimpang. Media sosial sering dipakai untuk menyebarkan informasi yang tidak benar, fitnah, gibah, gosip, ujaran kebencian, dan hal lain yang mengganggu harmoni kehidupan sosial.
Makanya, lewat fatwa itu, organisasi ulama tersebut mengharamkan umat Islam menyebarkan hal-hal negatif melalui media sosial. Pengguna media sosial diharapkan bertabayun atau memeriksa kejelasan dan kebenaran sesuatu hal sebelum menyebarkannya.
Fatwa MUI itu memang ditujukan untuk kaum Muslim. Namun, tak ada salahnya kalau kita semua juga menjaga perilaku di internet, kan?
Fatwa itu, menurut pengamat media sosial, Nukman Luthfie, jika dijalankan, hal tersebut justru bisa melindungi pengguna di kalangan muda. Sebab, pengguna media sosial terbanyak adalah generasi milenial, yang sehari- harinya makin susah lepas dari telepon seluler.
”Anak muda adalah korban pertama saat berita hoaks menyesaki lini masa media sosial tanpa mendapatkan informasi tandingan, seperti dari media massa cetak, online, ataupun televisi,” kata Nukman seperti dimuat di Kompas, Sabtu (10/6).
Pemerintah, lewat Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, sepakat dengan fatwa itu. Rudiantara berharap pemuka agama lain juga mengeluarkan imbauan untuk umat masing- masing dalam berperilaku baik di media sosial.
Daripada menimbulkan keresahan di media sosial, ada juga nih game yang lagi ramai di Twitter belakangan ini, yaitu ”One like = One …”. Maksudnya, akun yang ikutan bakal menjembrengkan hal-hal terkait topik yang ia pilih sesuai dengan jumlah like ia dapat.
Akun @remotivi mencuitkan ”One like = One Fave Book” pada Rabu malam. Cuitan itu menuai 307 like sehingga admin lembaga kajian media dan jurnalisme itu ”wajib” membagi 307 buku favorit mereka. Dengan begitu, mereka membagi informasi yang bermanfaat buat mereka yang tertarik dengan jurnalistik.
Ayolah, kita bikin media sosial seru lagi. (HEI/JAL)