Romantisisme 1998
Hampir dua dekade Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Setelah 32 tahun memimpin, ia mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Peristiwa bersejarah itu dikenang sebagai titik menentukan dalam Reformasi 1998.
Soeharto lengser, antara lain akibat desakan para mahasiswa yang ramai-ramai turun ke jalan dan meneriakkan reformasi dan mendesak presiden turun. Didukung masyarakat dan komponen lain, mahasiswa merangsek ke Gedung MPR di Senayan, Jakarta, dan mendudukinya.
Reformasi 1998 mendorong peralihan zaman dan menghadirkan perubahan, terutama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ada harapan, proses demokratisasi bakal mempercepat pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat.
Namun, 19 tahun berlalu dan presiden telah berganti lima kali, ternyata harapan itu belum sepenuhnya terwujud. Saat bersamaan, mahasiswa—yang diagungkan sebagai agen perubahan—kini terlena dalam zona nyaman masing-masing. Berbagai masalah tersebut merundung negeri ini, tetapi gerakan mahasiswa kurang menggeliat.
Nostalgia
Kenapa gerakan mahasiswa cenderung adem-adem saja belakangan ini?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya sejenak kita tengok sejarah. Ingat saja sosok Soe Hok Gie, pemuda keturunan Thionghoa yang menjadi motor pergerakan mahasiswa era 1960-an, khususnya Universitas Indonesia. Saat itu, Gie getol dalam berbagai pergerakan mahasiswa yang memprotes kebijakan Presiden Soekarno.
Bersama kelompok pencinta alam, ia masuk ke dalam struktur organisasi intra-kampus di Fakultas Sastra UI—yang kini berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Buku Soe Hok-gie Sekali Lagi... (2016) menggambarkan, perlawanan mahasiswa era itu berskala nasional, tidak terlalu fokus pada permasalahan di kampus masing-masing.
Para mahasiswa menjadi penyambung lidah rakyat dan menuntut pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang memihak kepentingan publik. Gie meninggal di Gunung Semeru, Jawa Timur, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya ke-27.
Masuk ke era Orde Baru, berbagai kritik terhadap pemerintah dibungkam, termasuk suara mahasiswa. Pemerintah menerapkan Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) dan membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Mahasiswa didorong kembali ke kampus dan tidak lagi mengurusi politik praktis. kegiatan mahasiswa di kampus dipantau.
Dalam situasi tertekan, mahasiswa mencari celah berekspresi lewat pers mahasiswa sebagai media alternatif. Buletin, majalah, atau jurnal kampus kemudian menjadi sarana untuk mengulik isu-isu politik nasional. Namun, jika terlalu kritis, pers kampus itu juga dibredel.
Sejarah berjalan. Pada 1997, Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi yang memuncak pada awal 1998. Mahasiswa marah pada pemerintah dan mereka berbondong-bondong menggelar unjuk rasa di kampus, di jalan, dan di Gedung MPR. Tanpa memedulikan dari kampus mana berasal, dari organisasi apa, mereka semua sama-sama meneriakkan keharusan reformasi dan mendesak Soeharto mundur.
Menanti lagi
Memasuki era sekarang, mahasiswa jarang lagi turun ke jalan, bahkan dianggap kurang responsif terhadap aspirasi rakyat. Jajak pendapat Kompas Oktober 2015 menyebutkan, 70 persen responden berpendapat, perjuangan mahasiswa kini tidak berpihak pada masyarakat, tapi kepentingan diri sendiri.
Laporan Kompas, Simpang Jalan Gerakan Mahasiswa (8 Juni 2017) mencatat, redupnya pergerakan mahasiswa akibat pragmatisme dan apatisme. Biaya pendidikan yang mahal dan tuntutan lulus maksimal lima tahun juga turut meredupkan perjuangan mahasiswa.
Secara umum mahasiswa hanya menyuarakan pendapat, berdemo turun ke jalan saat momen-momen tertentu. Sebut saja kelahiran Pancasila 1 Juni lalu. Sebagian mahasiswa berunjuk rasa. Namun, setelah itu, tidak ada lagi kabar geliat mereka.
Pasca Reformasi 1998, mahasiswa cenderung sibuk dengan urusan pragmatis masing-masing. Bisa dibilang, tanpa perlu NKK/BKK, mereka kini sudah ”mengandangkan diri” di kampus. Tugas-tugas kuliah atau kegiatan pribadi lain sudah bikin mereka sibuk.
Sebagian mahasiswa tidak lagi getol mengkritisi kebijakan universitas dan kurang aktif di organisasi intra atau ekstra kampus. Mereka berusaha kuliah cepat, lulus segera, dan dapat pekerjaan idaman. Persoalan sosial-politik dalam kehidupan nyata agak kurang masuk dalam perhatian mahasiswa.
Tentu saja, di tengah kelesuan itu, masih ada harapan akan geliat gerakan mahasiswa. Tak sedikit juga mahasiswa yang turun ke lapangan untuk membantu pemberdayaan masyarakat secara langsung, menggiatkan literasi di perkampungan kota atau di pelosok Nusantara, atau menekuni dunia kreatif sembari berkompetisi mengejar prestasi internasional. Mereka juga agen perubahan, tetapi tidak dengan turun berunjuk rasa di jalan.
Eko RamdaniMahasiswa dan Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Institut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta