Argumentasi
Suci Ayu Latifah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Ponorogo, Jawa Timur.
Selain itu, anak muda adalah pengguna aktif internet dan media sosial. Mereka lebih rentan terpengaruh paham radikal. Jadi, peran penting perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Misalnya, dosen mau bergaul dengan mahasiswa, bertukar pikiran, serta mengetahui kegiatan mahasiswa. Penerapan hal tersebut akan memberi pengaruh positif bagi kedua pihak. Hal ini dapat mengurangi penyebaran paham radikal yang berpotensi memecah kebinekaan.
Memahami Radikalisme
Lenny Rio Rita Sirait, Jurusan D-III Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Medan.
Radikalisme yang ada sekarang lebih mengarah pada kefanatikan agama dan identik dengan kekerasan dalam mengaplikasikan paham yang dianutnya. Kelompok ini memaksa penganutnya untuk melakukan kekerasan demi mencapai tujuan. Salah satu tujuan kelompok radikalisme ini adalah menciptakan ideologi baru yang bertentangan dengan falsafah suatu bangsa.
Saya pernah ikut diskusi dengan sekelompok mahasiswa yang menganut paham radikal. Namun, saya tidak ada masalah dengan kelompok tersebut. Radikal karena mereka menentang sistem yang merugikan hak-hak masyarakat sipil. Sangat berbeda dengan pengertian radikalisme saat ini.
Di sini saya sepakat dengan gerakan radikalisme di kampus bentukan sekelompok mahasiswa karena mereka sering mengkritisi sistem birokrasi kampus yang merugikan mahasiswa. Intinya, radikalisme itu tidak bisa kita artikan satu arah saja atau dalam arti sempit. Penjelasan radikalisme itu sangat luas, tergantung individu masing-masing. Saya memandang radikalisme baik ketika kita berpikir kritis, tetapi tetap pada ideologi negara. Sebaliknya, akan berbahaya jika menyimpang dari ideologi negara.
Relatif
Helmi Alan Maghribi, Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok.
Jika ideologi dimaknai sebagai satu interaksi antara seperangkat nilai dan tindakan, kehadirannya di antara mahasiswa adalah minim. Alasannya, ruang bagi ideologi selain demokrasi ditekan sedemikian rupa di dunia.
Di Indonesia, hal ini diperkuat dengan asas tunggal Pancasila. Khusus di lingkungan Universitas Indonesia (UI), upaya untuk menempatkan ideologi secara lebih strategis melalui Musyawarah Mahasiswa sirna dengan gagalnya pembentukan partai politik mahasiswa beberapa tahun silam. Ruang tersisa bagi radikalisme menjadi sangat sempit.
Selain itu, proporsi mahasiswa dominan kelas menengah urban juga sarat dengan kemampuan menentukan preferensi politiknya masing-masing. Mereka cenderung terlepas dari dinamika konstelasi politik nyata dan lebih mandiri dalam menentukan preferensinya. Sementara radikalisme perlu basis yang kuat antara pemberi dan penerimanya. Kelas menengah dapat meredam radikalisme. Pengamatan saya, UI relatif aman dari radikalisme karena kesempatan politik bagi tumbuh kembangnya hampir tiada. (tia)