Menolak Rayuan Paham Radikal
Padahal, sejak sebelum lahir pun wilayah Indonesia adalah kawasan yang berasal dari segala macam keragaman. Indonesia negara yang sangat heterogen. Mulai dari pulau, alam, manusia, iklim, flora, fauna, makanan, bahasa, agama, suku bangsa, adat istiadat, kepercayaan, bahkan pola pikir. Aneh jika kemudian semua harus sama.
Semua perbedaan dan keragaman itulah yang membuat Indonesia besar dan kaya. Tidak banyak negara yang memiliki keragaman seperti Indonesia. Malah ada banyak negara serba homogen mulai manusianya sampai makanannya.
Beruntung ada gerakan pemuda Indonesia pada Oktober 1928 yang berani dan dengan gagah mengikrarkan Sumpah Pemuda hingga Indonesia pun memiliki bangsa yang satu bangsa Indonesia, bahasa yang satu bahasa Indonesia. Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno juga menegaskan, tidak ada suku bangsa mayoritas dan minoritas di Indonesia. Sedikit atau banyak jumlah orang dari suatu suku bangsa, sama kedudukannya.
Sayang, selalu saja ada orang yang tak setuju, apalagi menyukai hal-hal terkait keberagaman. Kadang mereka menyusupkan paham dan ajaran melalui diskusi terbatas dengan anggota terpilih. Hal paling jelas terlihat dari kelompok seperti ini adalah mereka menolak orang yang tidak sepaham atau sealiran dengan mereka. Mahasiswa menjadi sasaran penyebaran paham radikal karena banyak dari mereka belum menemukan jati diri dan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.
Pengajar filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto mengatakan, generasi muda saat ini tidak matang dalam hal penghayatan nilai kebaikan, seperti Pancasila. Jika tidak matang secara mentalitas, mereka pun mudah terpengaruh dan ikut-ikutan bertindak yang tidak benar.
Ajakan
Seperti pengalaman Finny Rahmatani, mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang. Dia pernah diajak temannya bergabung ke dalam sebuah organisasi massa. Finny awalnya menilai ormas itu bagus karena peserta diajak untuk berdiskusi, mengkaji, dan melakukan aktivitas positif. Belakangan, Finny bingung karena semua kegiatan ormas itu mengklaim berlandaskan nilai-nilai agama.
”Saya tidak ingin ikut organisasi berlandaskan agama. Buat saya, melakukan sesuatu sesuai syariat Islam saja sudah cukup. Jika ingin mengkaji lebih dalam tentang Islam, ikuti saja siraman rohani,” kata Finny.
Finny menilai, kehadiran ormas itu di kampus tidak meresahkan civitas akademika. Namun, dia risih dengan cara ormas itu mengajak orang lain untuk bergabung.
Abdullah Aljabir, mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, dengan tegas menolak paham radikal di kampus. Bagi dia, kampus adalah tempat belajar berbagai hal, mulai dari profesi, organisasi, sampai ideologi.
”Pertama menjadi mahasiswa, saya sangat antusias dan terbuka menerima wawasan dan pengalaman baru. Namun, saya tetap waspada dan enggan terpengaruh paham yang menyalahi norma, agama, dan hukum yang berlaku,” ujar Abdullah.
Perihal radikalisme, Abdullah berpendapat banyak mahasiswa belum paham arti radikalisme. ”Hal ini akan membahayakan. Seharusnya, sejak dini mahasiswa paham mengenai radikalisme agar tidak mudah terpengaruh paham yang sesat. Sebagai kaum intelektual yang mandiri dalam menentukan pilihan, seharusnya mahasiswa tidak mudah di pecah belah isu radikalisme,” tuturnya.
Lain lagi dengan pengalaman Alda Awwali Hasani, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di fakultasnya jarang ada mahasiswa yang mau terlibat dengan paham radikal. ”Mungkin karena kami terbiasa berdebat dan tidak langsung menelan saja semua informasi dan pelajaran yang masuk.”
Suatu kali bersama teman-temannya, Alda singgah di masjid di lingkungan kampus. Tiba-tiba ketika hendak keluar masjid, orang yang ada di situ menegur dan melarang mereka naik motor berpasangan.
”Kami bukan berpacaran atau pasangan, naik motor berboncengan hal biasa karena tempat tinggal searah. Saat itu kami mengiyakan saja, beberapa ratus meter dari masjid, kami berhenti dan tukar pasangan seperti semula, he-he-he,” ujarnya.
Mereka yang berpaham radikal dalam pengamatan Alda umumnya menjauhkan diri dari teman-teman bahkan keluarganya. Ada juga yang sering memandang sinis orang lain yang berbeda paham. ”Sampai sekarang jumlahnya tidak besar, kecuali di fakultas tertentu,” imbuhnya.
Mei lalu, Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace Musdah Mulia mengingatkan, setiap organisasi yang berlabel agama harus diwaspadai karena belum tentu tujuan dan kegiatan lembaga itu murni untuk dakwah kebaikan.
”Radikalisme berujung pada penyeragaman, antitoleransi, dan suka mengafirkan orang lain. Sikap tak mau menerima perbedaan bisa memicu konflik dan memecah belah persatuan,” katanya. (TIA)