Sepekan yang Tak Terlupakan
Ia bersama Gregorius Bernardino Saragih (SMA Kolese Gonzaga Jakarta), Bagus Al Rafi (SMA Nasional 1 Bekasi), serta Nabilah Nurul (MA Ummul Quro Bogor) yang tergabung dalam kelompok II mengerumuni Gracello Yeshua Davny (SMAN 98 Jakarta) yang sedang mengerjakan desain koran mereka.
Di sebelahnya, Jeremy Mahaputra (SMA Ora Et Labora BSD Serpong), desainer grafis kelompok V, asyik menata ”wajah” korannya. Ruang komputer di ruang pendidikan dan latihan harian Kompas malam itu penuh magangers yang berjibaku menyelesaikan tugas membuat koran sendiri.
Seperti tahun sebelumnya, setelah mengikuti workshop jurnalistik, magangers ditantang untuk membuat koran sendiri. Peserta yang tahun ini berjumlah 37 orang dibagi dalam delapan kelompok. Di setiap kelompok ada peserta yang menjadi reporter, fotografer, dan desainer. Mereka mesti merancang koran satu halaman yang diisi tulisan, foto, dan desain karya sendiri.
Layaknya wartawan profesional, mereka turun ke lapangan untuk liputan. Namanya lagi belajar, mereka sering kebingungan. Ada kelompok yang berganti-ganti tema liputan bahkan ketika sudah di lapangan. Mereka bebas menulis apa saja. Kru Kompas hanya memberi koridor dan pengarahan seperlunya terutama terkait narasumber dan bagaimana membagi waktu liputan, penulisan, hingga layout. Selebihnya, magangers yang menentukan sendiri.
Tema liputan yang diangkat delapan kelompok magangers itu adalah komunitas manusia batu di Kota Tua, tren sneakers, wirausaha muda, Museum Stovia, tren lash lifting, galeri seni, dan pusat kebudayaan Eropa di Jakarta.
Koran hasil karya mereka lantas dipresentasikan di depan panel yang terdiri dari pimpinan Kompas, wartawan, fotografer, dan desainer Kompas. Bagaimana sih pendapat para anggota panel dari Kompas tentang karya para magangers?
Priyombodo, fotografer Kompas, memuji kemampuan Fidelis Ilham (SMA Pangudi Luhur II Jakarta) saat mengambil foto sebuah kafe. ”Tak mudah mengambil foto dengan pencahayaan seperti itu,” kata Priyo.
Selain memuji panel, ia juga menjelaskan kekurangan pada karya maganger. Wakil Redaktur Pelaksana Tri Agung Kristanto yang mewakili unsur pimpinan Kompas banyak memberikan masukan kepada magangers terutama terkait pentingnya mengecek kebenaran informasi yang diperoleh seorang wartawan. ”Wartawan tidak boleh percaya begitu saja informasi yang ia peroleh sebelum mengeceknya ke lapangan,” kata Tri Agung.
Apa pun hasilnya, peserta magang yang berasal dari 37 siswa SMA dari Jabodetabek dan Jawa Timur itu mendapatkan pengetahuan dan pengalaman membuat produk jurnalistik. Mereka jadi tahu produk jurnalistik dihasilkan dengan usaha yang keras di lapangan. Semua informasi mesti dicek kebenarannya berkali-kali. Beda dengan media sosial karena orang bisa menyebarkan informasi apa saja tanpa perlu mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
Pelajaran lain diperoleh Ahmad Rizky, peserta dari SMAN 23 Tangerang. ”Dari pelatihan ini saya jadi tahu bagaimana bahasa Indonesia yang baik digunakan dalam tulisan. Kalau pelajaran bahasa Indonesia di sekolah kok jadi susah ya,” kata Rizky.
Ada cinlok
Satu minggu mencicipi pengalaman jadi wartawan rasanya terlalu pendek. Makanya, di hari terakhir pelatihan, Sabtu (15/7), banyak magangers yang minta pelatihan ditambah. ”Boleh enggak magangnya diperpanjang seminggu lagi. Kalau perlu jadi sebulan he-he-he,” kata Bagus Al Rafi merayu panitia.
Ada juga yang sibuk nanya, ”Boleh enggak tahun depan ikut lagi?”
Program Magang Kompas Muda yang sudah sembilan tahun berturut-turut digelar, menurut peserta, memberikan kesan dan pengalaman tak terlupakan. Apalagi, suasana pelatihan enggak selalu serius. Banyak main-mainnya, termasuk main board game. Menurut mereka, belajar di Kompas enak, jauh lebih mengasyikkan ketimbang di sekolah.
”Kelas di Kompas santai banget. boleh selonjoran, boleh tiduran, boleh sambil makan pula. Pelajaran pun lebih cepat masuk,” kata M Bagus Al Rafi.
Canda dan tawa juga mewarnai hari-hari para magangers. Keakraban di dunia nyata langsung menyambung di dunia maya, pada grup Line. Interaksi antara mereka terus terjadi sampai larut malam.
Para peserta dari berbagai sekolah yang tadinya tidak saling kenal itu di akhir pelatihan jadi dekat dan dekat sekali. Dan, ehem... ehem, seperti tahun-tahun sebelumnya ada saja peserta yang terlibat cinta lokasi alias cinlok. Biasalah, kalau ada cewek dan cowok yang dekat, langsung teman-temannya iseng menggoda. Kebayang, kan, serunya.
Karena sudah telanjur akrab—bahkan ada yang jadian—peserta magang jadi berat meninggalkan Kompas di akhir program. Ada yang bilang, ”Ih... baru saja akrab-akraban dan seru-seruan, programnya selesai dan kita harus pisah.”
Bagaimanapun, magangers harus berpisah karena mulai Senin (17/6) mereka sudah harus sekolah. Yang penting, mereka pulang membawa pengetahuan baru dan pengalaman yang menyenangkan.
”Buat saya sih, magang selama minggu ini adalah hal terbaik yang pernah aku dapatkan. Enggak menyesal jadi bagian dari 37 orang cerdas, aktif, gokil, kritis. Pokoknya semua tersayang deh,” ujar Gracello, yang akrab disapa Axell.
Tak hanya Axell, magangers lain, Aulia Chanifa Haryadiputri, juga mengalami hal sama. ”Benar-benar menyenangkan. Bertemu dengan banyak teman dari berbagai sekolah,” ujar Aulia, siswa SMAN 55 Jakarta.
Nah, mulai Jumat depan para pembaca Kompas Muda bisa menikmati karya magangers Batch IX yang diturunkan secara berseri di harian Kompas. Baca ya! (SIE/TIA/TRI)