Lika-liku Berburu Prestasi
Kevin adalah anak muda dari Semarang, Jawa Tengah, yang sekarang tinggal di Los Angeles, AS, dan bekerja di studio sinema digital tingkat dunia.
Sementara itu, Yuditya Afandi adalah remaja dari Banjarnegara, Jawa Tengah, yang membuat film animasi dan video tutorial animasi. Karya Yudit—begitu dia disapa—sudah ditonton ribuan kali.
Yuk, kita ikuti perjalanan mereka berburu prestasi. Semoga ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman mereka bertiga.
Si Pemburu Ombak
Selepas bocah, Salini Rengganis IeDewa (19) sudah memastikan jalan hidupnya sebagai peselancar (surfer). Cewek cantik kelahiran Yogyakarta yang tinggal di Pacitan, Jawa Timur, itu belajar menunggangi ombak sejak berusia 5 tahun. Ia langsung dilatih ayahnya, Wied IeDewa, di Pantai Teleng, Pacitan.
”Setiap pagi kami ke pantai, lama-lama saya ingin belajar surfing,” kata Salini yang ketika itu belajar berselancar hanya dengan papan bekas. Dua tahun kemudian, ia sudah menguasai teknik berselancar dan ikut kompetisi di Bali. Sejak saat itu, Salini malang melintang di berbagai kompetisi surfing, baiktingkat nasional maupun internasional.
Prestasi demi prestasi ia raih, antara lain Juara 3 World Big Splash Hardcore Womens Surf Competitions Bali (2009). Pada 2012, juara di Thailand dan menjadi perempuan peselancar terbaik versi Indonesia Surfing Champion (ISC). Saat itu, usianya baru 14 tahun. Kini, cewek bertinggi badan 160 sentimeter dan berat 40 kilogram ini masuk tiga besar perempuan surfer terbaik Indonesia.
”Menaiki ombak besar membuat adrenalinku naik. Itu menyenangkan sekali. Membuatku selalu kangen berburu ombak,” kata Salini yang tidak takut kulitnya gosong karena terbakar matahari.
Perjalanannya mengejar prestasi di ajang surfing kelihatan mudah. Namun, sebenarnya enggak juga. Ia harus membagi waktu antara kegiatan surfing dan sekolah. Tahun lalu, Salini lulus SMA dan langsung bekerja sebagai ikon Surfer Girl yang me-support peralatan selancar, pembawa acara di televisi, dan model produk batik. Uang yang dia peroleh digunakan untuk membiayai kegiatan surfing.
Untuk ikut kompetisi surfing itu enggak murah lho. Biayanya antara Rp 7 juta dan di atas Rp 10 juta. Kalau ikut kompetisi di luar negeri bisa sekitar Rp 35 juta. ”Hadiah dari kompetisi saya pakai lagi untuk ikut kompetisi,” katanya.
Menembus Industri Sinema Digital Dunia
Anak muda kelahiran Semarang, 23 Februari 1993, ini semula bercita-cita menjadi pilot atau tentara. Namun, sekarang dia malah ”tercebur” ke dunia sinema digital. Lewat perjuangan kerasnya, ia bisa bergabung dengan Blur Studio yang bermarkas di Los Angeles, AS. Blur Studio adalah perusahaan sinema digital papan atas yang mengantarkan film pendek Gopher Broke meraih nominasi Oscar pada 2004.
Kevin bekerja sebagai scene assembler yang bertugas menyatukan semua elemen-elemen sinematik (rendering). Ia turut ambil bagian dalam pembuatan trailer atau sinematik gameElder Scroll, Lord of the Ring, dan Halo War. Semua dalam bentuk 3D. Mei lalu dia baru saja menyelesaikan proyek untuk dibawa ke Ekspo Hiburan Elektronik (Electronic Entertainment Expo/E3).
Kevin mulai mengenal dunia sinema digital setelah diajak teman SMA-nya mengikuti festival film di sekolahnya, SMA Kolese Loyola di Semarang. Sejak saat itu, ia mulai mempelajari artistik dan efek visual. ”Belajar efek visual ternyata bukan hanya belajar seni. Saya juga mesti belajar tentang gerak, kamera, cara kerja alam, dan sebagainya,” katanya.
Ia lantas melanjutkan pendidikan ke Savannah College of Art and Design (SCAD) di Savanah, Georgia, AS. Di sana, anak tunggal pasangan Sebastianus Heriyono dan Yohana Rani Aji harus mandiri. Ia mengurus apartemen, administrasi, dan kebutuhan sehari-hari. Selama di AS, ia juga belajar bekerja keras agar tidak tersisih di dunia kerja. ”Intinya, kita harus mau bekerja keras, bekerja sama, dan saling mengisi,” katanya.
Singkat cerita, dia lulus dan tahun 2015 pulang ke Indonesia. Dia gembira sekali menemukan banyak pekerja di bidang sinema digital di Indonesia yang lebih jago. ”Itu alasan saya mau bekerja di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Kevin, di dunia kerja, kita harus banyak belajar dari orang lain dan mau membagi keahlian kepada orang lain. ”Kadang-kadang kita merasa diri paling jago, paling pinter. Padahal, kita perlu banyak koneksi dan belajar dari orang lain,” tutur Kevin.
Nah, buat anak muda yang ingin menekuni sinema digital, Kevin berpesan, ”(di awal karier) jangan mikir untung dulu, tapi senang-senang aja. Kalau belum apa-apa mikirin duit, nanti enggak bisa maksimal dalam mengembangkan talenta,” ujarnya.
Animasi dari Banjarnegara
Yuditya Afandi baru berusia 17 tahun dan tercatat sebagai pelajar SMKN 2 Bawang, Banjarnegara. Di usia yang masih muda, Yudit sudah berhasil membuat film animasi pendek berjudul Some Night yang ditonton puluhan ribu kali lewat Channel Youtube The CGBros.
Animasi berdurasi 30 detik tanpa credit scene itu mengisahkan seorang perempuan bernama Evelyn Snow yang sedang menonton film di laptop, tapi tiba-tiba ada lebah besar yang jatuh ke laptop tersebut. Evelyn yang merasa terganggu mengambil tongkat untuk mengusir lebah tersebut, tapi kemudian ayunan tongkatnya justru menghantam laptop.
”Film ini saya buat selama 2 bulan, mulai November sampai Desember 2016,” kata Yuditya, saat ditemui di sekolahnya di Banjarnegara, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Awalnya animasi itu disebar lewat akun pribadinya di Youtube, Yudit 1999, pada 19 Januari 2017. Akhir Januari, ia iseng-iseng mengirimkan karyanya ke Channel Youtube The CGBros, kanal yang memiliki misi untuk mengkurasi karya-karya film animasi berkualitas terbaik dari seluruh dunia. Jreng-jreng, animasi buatan Yudit ternyata lolos kurasi dan berhasil ditayangkan mulai pertengahan Februari 2017.
Yudit sejak kelas II SMP senang membuat sketsa wajah dan tokoh-tokoh kartun, seperti The Flash, Willa Holland, Superman, Cat Women, Saxon Sharbino, Spiderman, Mary Katherine, Moana, dan Princess Lunafreya. Goresannya cukup halus dan berkarakter serta ekspresinya terasa hidup. Kadang ia menjual sketsanya untuk menambah uang jajan seharga Rp 80.000-Rp 120.000.
Ketika masuk SMK jurusan teknik komputer jaringan, ia tertarik ke dunia animasi. Ia pun menyisihkan uang saku dari orangtua dan tabungannya dari jualan sketsa untuk dibelikan laptop seharga Rp 5,1 juta. Dengan laptopnya itu, ia belajar membuat film animasi secara otodidak lewat tutorial yang bertebaran di internet. Ia belajar membuat karakter yang bernyawa dan ekspresif, efek-efek tambahan, dan lain-lain. Sketsa-sketsa gambar yang ia buat animasinya.
Setelah menguasai cara membuat animasi, ia membuat beberapa film animasi pendek. Ia juga berbagi keahliannya dengan membuat tutorial singkat cara membuat tokoh animasi. Video tutorial buatannya yang menggunakan sosok Taylor Swift itu telah ditonton 9.000 kali.
Di setiap video tutorialnya, Yudit tidak lupa mengajak anak muda tekun berlatih agar dapat menghasilkan film animasi yang baik. ”All you need to do is keep practice and practice,” kata Yudit dalam video itu.
Selain mengajar lewat internet, cowok yang mendapat sejumlah penghargaan itu melatih adik kelasnya dalam kegiatan ekstrakurikuler animasi setiap Rabu sore. ”Ada sekitar 15 adik kelas yang ikut ekstrakurikuler animasi,” kata Yudit yang bercita-cita menjadi 3D modeler dan animator profesional itu. (TRI/DKA/ISW)