”Menurut gue, generasi kakak dan om gue itu suka dan berani menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Di Twitter, kan, sering mereka sampai bikin kultwit panjang banget,” kata Farhandika Widyastomo (22), bungsu dari empat bersaudara.
Farhan, panggilannya, sangat jarang berdiskusi soal politik dengan teman-teman sebayanya. Buat dia, sikap politik itu urusan pribadi. Ia juga tidak mau perbedaan pandangan politik jadi bikin ribut dengan kawannya. ”Jangan sampai kayak yang di Facebook atau Twitter-lah. Saling menjatuhkan, kan, jadinya,” katanya.
Adapun bagi Nazla Alifa Senia (20), generasi ayahnya—kini berusia 47 tahun—lebih peduli pada investasi jangka panjang. Ia sering dinasihati untuk menabung, misalnya untuk membeli rumah. ”Padahal, aku pengin jadi warga dunia, yang pindah-pindah terus,” ujarnya.
Di ranah pekerjaan, Dwika Putra Hendrawan mengacungi jempol atas loyalitas pekerja dari generasi orangtuanya. Ia bercerita, ibunya bekerja selama 42 tahun di perusahaan yang sama dan itu adalah kantor pertamanya. ”Gue selama tujuh tahun jadi profesional sudah lima sampai enam kali ganti kantor, ha-ha-ha,” kata dia.
Generasi terkini menyukai tantangan baru. Makanya, ketika bidang pekerjaan di tempat yang saat ini digeluti sudah tidak relevan lagi, pindah kantor sering jadi pertimbangan. Apalagi, ada media sosial profesional LinkedIn yang rutin menginformasikan lowongan kerja sesuai dengan minat pelanggannya.
Generasi lawas juga dianggap senang dengan hal-hal bernuansa nostalgia. Prima Saputra (21) mengamati hal itu dari pilihan pada musik. ”Gue, sih, lebih senang cari musik baru dari band baru. Kalau tante gue itu, konser Boyz II Men aja dibelain nonton. Itu grup kayaknya pernah bubar zaman gue masih bayi, deh.” (HEI)