Kami bertemu dengan Nazla Alifa Senia, yang umurnya akan 21 tahun pada Oktober nanti. Ia baru pulang dari Thailand berlibur bareng teman-temannya. Momen-momen liburan itu ia unggah di akun Instagram @nazlaalifa. Berkat itu pengikutnya bertambah seribuan, yang hingga Kamis (3/8) totalnya jadi 132.000.
”Kemarin (ketika di Thailand) kelupaan bawa charger kamera. Jadi, foto-fotonya cuma pakai HP,” kata sulung dari tiga bersaudara ini. Walau begitu foto-fotonya tetap bagus, terang dan tajam. Siang itu ia sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, seperti yang banyak terlihat di foto-foto Instagram-nya. Ia menggenggam dua telepon keluaran baru, salah satunya pemberian dari produsen.
Pemberian itu bukan cuma-cuma. Nazla wajib mengunggah foto yang diambil pakai kamera di ponsel itu sebanyak 10 kali dalam satu bulan. Sudah sekitar satu tahun ia menjalin kontrak dengan produsen ponsel itu. Setiap unggahan ada tarifnya, tetapi nilainya ia rahasiakan. Angkanya bisa bikin kita iri.
Mahasiswi Universitas Pelita Harapan semester II ini menyebut yang ia lakukan adalah buzzing. Dengan pengikut bejibun, ia disebut sebagai selebgram, atau selebritas Instagram. Namun, ia lebih suka menyebut dirinya influencer. Makin banyak pengikut, bertambah pula produk yang mendatanginya.
Ada beberapa produk yang sedang ia dengungkan lewat media sosialnya saat ini, umumnya adalah merek ternama. Nazla memilih mempromosikan produk-produk yang dipakai golongan atas, istilah marketing-nya kelas A dan B. Ia menolak mempromosikan kegiatan politik, walau katanya ”easy money”, gampang dan besar.
Penghasilan sebagai buzzer itulah yang mengongkosi perjalanannya ke banyak tempat. Beberapa ke penjuru Indonesia, kebanyakan ke luar negeri. ”Kadang begitu terima uang, aku langsung beli tiket ke mana gitu. Spontan aja,” katanya—yang membikin akun media sosial pertama—, Friendster, ketika SD kelas III ini.
Nazla mengaku sering mendengar cibiran yang bilang bahwa pekerjaannya enak banget, bisa jalan-jalan dan berfoto-foto. Memang benar ia sangat menikmati pekerjaannya. Namun, di balik itu, Nazla perlu merancang strategi supaya fotonya terlihat bagus. Konsep fotonya ia kerjakan sendiri. Fotografernya adalah sahabatnya, yang secara tidak langsung ia promosikan juga.
”Aku perlu memikirkan penataan detail sebuah produk supaya terlihat bagus. Kadang-kadang klien minta revisi sampai beberapa kali,” ujarnya. Untuk produk yang terkait busana dan kosmetik, Nazla harus berdandan, biasanya sampai 1,5 jam.
Ia bangun pagi demi menangkap pencahayaan yang bagus. Sore hari ia berolahraga biar tetap terlihat bugar. Malamnya ia hangout dengan teman- temannya biar enggak kudet, alias kurang update.
”Aku tuh FOMO banget,” katanya. FOMO adalah singkatan dari fear of missing out, gejala yang banyak dialami kaum muda masa kini. Mereka tak sudi ketinggalan informasi dan momen dari teman-teman sebayanya, maka Nazla dan juga kaum muda lainnya amat getol menyimak banyak hal lewat media sosial. Bisa mati gaya kalau telepon seluler ketinggalan di rumah.
Pilihan karier
Tiya Farisa, mahasiswa Institut Pertanian Bogor menganggap media sosial sebagai sumber informasi, pengetahuan, dan juga peluang bisnis. ”Medsos juga membantu urusan publikasi bagi panitia kegiatan (mahasiswa),” kata Tiya. Bandingkan dengan zaman prainternet, poster acara kampus banyak tertempel di segala penjuru. Sekarang lini masa medsos jadi ramai dengan promosi event.
Alfiani Rahmi Chandraswara, mahasiswi semester V di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia punya akun di enam media sosial di antaranya Facebook, Twitter, Ask.fm, juga Instagram. Sembari berinteraksi di sana, Alfie juga memuaskan hobinya menonton drama korea di Youtube. Ia tak lagi tertarik pada program televisi.
”Acara TV tak menarik karena jarang yang sesuai minat saya, maka saya lebih banyak nonton lewat Youtube,” ujarnya. Gara-gara keranjingan drama korea, yang ia simak di internet ketika SMP itu, Alfie memutuskan kuliah di Jurusan Sastra Korea.
Revolusi teknologi, yang disokong internet, mau tak mau menciptakan berbagai bidang pekerjaan baru, yang nyaris tak terpikirkan di dekade lampau. Dwika Putra Hendrawan (28) kini berjibaku memajukan bisnis penyedia konten digital di perusahaan yang ia rintis, UD Samber Rejeki. UD bukan singkatan dari ”usaha dagang”, melainkan ”usaha digital”.
Jabatannya sekarang adalah kepala bidang kreatif. Sebelumnya, ia berpengalaman menjadi admin media sosial, dan pernah pula jadi konsultan media sosial. Dwika juga sempat merasakan julukan sebagai selebtwit, atau yang berpengaruh bagi banyak pengguna Twitter.
”Banyak sih yang bilang, ’main medsos aja, kok, serius banget’,” katanya. ”Padahal, kalau mau didalami, banyak peluang karier yang bisa ditempuh dari medsos,” ujarnya. Menurut dia, sekarang hampir semua perusahaan besar mencari orang untuk departement new media, yang diasosiasikan sebagai media sosial, bisa sebagai perencana pemasaran digital, atau manajer.
Peluang semacam itu tercipta karena umumnya pemimpin yang besar di era sebelum internet gagap mengikuti cepatnya perkembangan teknologi. Tak semuanya gagap, sih. Banyak juga bos perusahaan digital yang umurnya kepala lima. Namun, mereka tetap membutuhkan orang muda dengan ide segar yang lebih tanggap perubahan.
Kebiasaan konsumsi, mulai dari membaca berita hingga belanja kebutuhan sehari-hari sudah banyak berubah. Pilihannya adalah mau tanggap atau gagap? Kaum muda seperti Nazla, Dwika, Tiya, dan Alfie memilih tanggap. Bagaimana dengan generasi om dan tante yang tumbuh ketika internet belum menggejala?
(HEI/TIA)
nantikan laporan selanjutnya
Curhatan ”generasi senior” kita bakal muncul di Rubrik Gaya Hidup ”Kompas” Minggu (6/8). Tunggu, ya, kami mau update status dulu….