Buku adalah wujud buah pikir penulisnya, baik itu ilmiah maupun narasi. Berbagai buku dan gagasan itu dipentaskan dalam ASEAN Literary Festival Ke-4 pada 3-6 Agustus di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Sastra turun di ruang publik.
Pada Minggu (6/8) menjelang sore, suasana pelataran Museum Fatahillah ramai. Orang-orang beragam usia ramai bercengkerama di kawasan antik itu. Terik matahari tak mengurangi antusiasme mereka menikmati Jakarta di akhir pekan.
Berjalan kaki di pinggir halaman museum harus berhati-hati karena bisa tersandung orang yang duduk. Banyak juga yang melakukan wefie alias foto narsis bareng-bareng.
Di sisi timur, di depan bangunan Museum Keramik berderet tenda-tenda putih. Ada beberapa yang kosong. Tenda-tenda itu merupakan tempat bagi 24 penerbit dan kelompok literasi, di antaranya penerbit Gramedia Pustaka Utama, Lontar, Buku Perempuan, Falcon Publishing, Mizan, Ingat 65, TrotoArt, Indie Book Corner, dan Goodreads Indonesia. Banyak buku-buku baru dan bagus tersedia di sana. Pengunjung di kawasan ini tak seramai di sudut utara dan barat kawasan Kota Tua.
Selain menjual buku-buku, festival ini juga berisi berbagai diskusi dan lokakarya, tentu saja terkait dengan sastra. Salah satu diskusi yang ramai dikunjungi pada hari terakhir festival itu adalah bincang-bincang membahas puisi yang diisi Aan Mansyur, Marius Hulpe, dan Hariz Fadhilah.
Para pujangga muda itu ngobrolin kaitan antara puisi dan politik. Lewat diksi pilihan para pujangga itu, isu korupsi, misalnya, bisa berwujud untaian kalimat yang cantik. Mereka berbincang-bincang sampai sore di Gedung Pos, salah satu bangunan antik di kawasan itu.
Selain gedung itu, ada mata acara lainnya di gedung sekitar, yaitu di Museum Wayang, gedung Tjipta Niaga, dan Museum Keramik. Perlu sedikit berjalan kaki demi mencapai tempat-tempat itu.
Sebelumnya, penulis A Fuadi, Shivaji Das, dan Ira Lathief berbagi pengalaman soal menulis perjalanan. Pada diskusi lain, pengunjung diajak untuk meloloskan ketakutan atas tekanan berbagai pihak ketika menulis. Penulis Arswendo Atmowiloto menceritakan pengalamannya dalam menjaga kebebasannya menulis. Sedangkan Martin Aleida dan Han Zaw dari Myanmar bercerita tentang persekusi, yang dikhawatirkan menghantui idealisme penulis.
Rizky dan Dini sengaja datang ke Kota Tua demi mendengar pembicara Karlina Supelli, mata acara diskusi terakhir pada Minggu itu. ”Topiknya menarik, tentang banyak hal yang bisa jadi ide penulisan. Sayangnya suaranya agak kurang jelas karena menggema,” kata Rizky.
Tahun sebelumnya, ASEAN Literary Festival (ALF) diadakan di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, yang memang sering menjadi tempat perhelatan acara seni dan budaya. Okky Madasari, Direktur Program ALF, mengatakan, festival ini berpindah ke Kota Tua untuk mendekatkan sastra kepada masyarakat yang lebih luas.
Kelompok Institut Musisi Jalanan, Wayang Orang Bharata, dan grup idol JKT 48 menutup festival ini. Minggu malam, yang biasanya riuh di pelataran Museum Fatahillah itu, jadi makin meriah. (HEI)