Batu hanyalah benda mati bersifat padat yang berasal dari perut bumi dan terbentuk secara alami. Namun, bagaimana jika benda hidup dijuluki si benda mati? Atau, bagaimana jika batu bisa dianggap hidup di Ibu Kota? Manusia Batu Taman Fatahillah bisa menjawab pertanyaan itu.
Layaknya kebanyakan para pendatang, seorang pria paruh baya berbekal nekat menjejakkan kaki untuk pertama kali di salah satu aset kebanggaan Ibu Kota Jakarta, Taman Fatahillah. Pria yang akrab disapa Pak Idris ini terdiam tegak dan meliarkan cakrawalanya untuk mencari cara bertahan hidup di tengah kerasnya dinamika Jakarta.
Awal kedatangannya ke Jakarta adalah untuk sekadar survei, apa jenis dagangan yang sekiranya cocok untuk dijajakan di sana? Akan tetapi, takdir bicara lain. Nasib mengajaknya berpindah sudut pandang dan berujung pada keputusan bulat yang menjadikan dirinya sebagai obyek foto bertarif sukarela. Begitulah dipaparkan pria berusia 40 tahun ini ketika ditanya awal mula tercetusnya pekerjaan ”manusia batu”.
Kisah awal perjuangannya tak sebatas itu. Desakan ekonomi dan secercah kreativitas memaksa dirinya untuk keluar dari belenggu keterbatasan. Topi, sepatu lars, dan pakaian bekasnya disulap menjadi seperangkat seragam pejuang. Dia hanya bermodalkan sisa cat tembok di rumahnya.
”Modal awal saya nol, ditambah uang Rp 32.000. Jadi, saya hanya mengeluarkan uang untuk biaya transportasi dari Bogor ke Jakarta,” ujar Idris, di Jakarta, Kamis (13/7) siang.
Bahkan, cat tembok menjadi pilihannya untuk menutup kulit tangan dan wajahnya. Ia tak terlampau memedulikan kesehatan tubuhnya. Lagi-lagi, semua itu hanya didasari oleh terbatasnya ekonomi keluarganya.
Setelah berjalan empat bulan harus menahan sakitnya membersihkan cat di tubuh, dia akhirnya harus membayar mahal aksi nekatnya. Pekerjaan kreatifnya membuatnya sering terpapar sinar matahari. Penggunaan cat tembok dan keringat pun acapkali masuk ke matanya. Hal itu menyebabkan adanya selaput putih di kedua bola matanya, seperti katarak. Ia harus melewatkan waktu selama tiga bulan sampai akhirnya sembuh kembali.
Di tengah perjalanan pekerjaan kreatifnya sebagai manusia batu, muncul beberapa orang yang rupanya tertarik mengikuti jejaknya. Salah satunya adalah Pak Rizal, manusia batu kedua di Taman Fatahillah. Sejak November 2012 hingga hari ini, semangatnya tidak pernah terpatahkan walau banyak kritik yang menghujani dirinya.
Akhirnya, Idris memutuskan membentuk Komunitas Manusia Batu dengan beranggotakan sepuluh manusia batu. Sampai sekarang, komunitas ini konsisten dalam mempertahankan eksistensinya.
Beri makna
Ketika digali lebih dalam lagi, ternyata manusia batu tidak hanya sebatas ajang komersial. Idris bercerita, setahun setelah hari pertamanya di Taman Fatahillah, ada kejadian yang menjadi titik balik perspektifnya terhadap karier yang ia rintis sendiri. Meriam dan pohon tua menjadi saksi bisu pada hari itu, tepatnya 8 November 2013.
Bak sebuah obyek foto, segerombolan anak muda sibuk bergaya jenaka dengan bapak tua itu. Di akhir sesi foto, para anak muda ini mengembangkan senyum dan berterima kasih melalui wujud gemerincing uang logam.
Entah tidak sengaja atau hanya iseng, Idris pun melontarkan sebuah pertanyaan krusial kepada anak-anak muda itu yang akan mengawali pemberian makna dalam pekerjaannya. Sebuah pertanyaan simpel, ”Dik, lusa itu hari apa, ya?” Namun, dengan wajah polos, semua menjawab serentak, ”Hari Minggu, Pak.”
Berekspektasi mendengar kata ”Hari Pahlawan”, manusia batu itu langsung tertegun. Ia tersadar bahwa sosoknya sebagai gambaran para pejuang harusnya bisa membawa pesan keindonesiaan kepada para wisatawan, terutama anak-anak muda. Sejak itulah, Idris bersama manusia batu lainnya mulai membatu dengan bernapaskan semangat sejarah, perjuangan, dan budaya Indonesia.
Hingga hari ini, pencetus Komunitas Manusia Batu itu masih aktif ”membatu”. Ketika pancaran sinar matahari tepat berada di atas kepala, Idris duduk bersimpuh di sebelah gedung yang bertuliskan Gedoeng Jasindo. Menutup wajahnya dengan warna hitam dan emas, mengokohkan tumpuan ontel tuanya, merapikan kemeja kaku lamanya, dan berdiri tegak membatu di tengah hiruk-pikuk Taman Fatahillah.
Sembari menunggu matahari condong ke ufuk barat yang mengisyaratkan waktu beristirahat, napas semangat mereka tetap berembus. Dalam riuhnya Taman Fatahillah, banyak ”batu” yang bernapas.