Sebutan administrator muda sudah tidak asing bagi mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Setiap mahasiswa menyebut dirinya sebagai calon administrator di lembaga pemerintahan seusai menyelesaikan studinya.
Menjadi administrator tentu harus menempuh tahap kuliah kerja lapangan (KKL) terlebih dahulu. Hanya jurusan ini yang mewajibkan mahasiswa terjun ke desa. Mahasiswa diharapkan belajar mandiri, mampu berdinamika kelompok, memahami sistem pemerintahan desa, dan berbaur bersama masyarakat desa.
Tahun ini, kami ditempatkan di lima desa yang terletak di Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lima desa itu adalah Desa Mekarmukti, Desa Dayeungmanggung, Desa Dangiang, Desa Karya Mekar, dan Desa Dawungsari. Jarak tempuh ke desa-desa itu sekitar 30 menit dari Garut. KKL berlangsung dari 4 Juli sampai 11 Agustus 2017.
Pengabdian yang dilakukan berdasarkan hasil pengamatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang disepakati lewat musyawarah dengan kepala desa, badan permusyawaratan desa, ketua RT/RW, dan tokoh masyarakat. Sementara penelitian dilakukan berdasarkan rekomendasi dari dosen pendamping lapangan.
Penelitian yang dilakukan adalah indeks kepuasan masyarakat, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, kesehatan, ekonomi, pendidikan, demografi desa, serta uji kelayakan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lewat penanaman cabai. Setiap peserta KKL memilih topik secara acak dan kesepakatan dengan kelompok lain.
Kami juga ditugaskan menyusun pendataan penduduk dari pintu ke pintu. Pendataan bertujuan melengkapi data kependudukan sekaligus membantu pegawai desa.
Kehadiran kami sedikit melegakan pegawai desa yang memiliki keterbatasan dalam melengkapi data kependudukan desa. Kepala Desa Mekarmukti Juhana mengakui hal itu. ”Pegawai desa memiliki keterbatasan waktu dalam melengkapi data penduduk karena jumlah pegawai hanya belasan orang yang mempunyai tugas masing-masing,” katanya.
Pengalaman
Beradaptasi dengan warga setempat bukan hal mudah, apalagi bagi mahasiswa dari luar Pulau Jawa. Peserta KKL tahun ini yang berjumlah 68 orang, ada yang dari Papua, Flores, Sumatera, dan Pulau Nias yang tidak mengerti bahasa Sunda. Untuk mengatasi persoalan itu, kami dikelompokkan berdasarkan pertimbangan yang matang.
Misalnya, dalam satu kelompok harus ada anggota yang bisa berbahasa Sunda. Peserta yang belum bisa menggunakan bahasa Sunda, perlahan belajar kata demi kata. Hal ini bukan persoalan mudah. Kami harus belajar mendengarkan dan memahami setiap warga yang bertutur sapa dengan kami, terlebih pada saat pengambilan informasi tentang data warga.
Selama pengumpulan data, kami menemukan setiap RW memiliki karakteristik berbeda. Dengan karakteristik ini, kami bisa menentukan rencana program pengabdian yang akan direkomendasikan pada saat musyawarah.
Tentu pada saat musyawarah terdapat beragam usulan dari warga setempat, merekomendasikan program berdasarkan kebutuhan wilayahnya. Keadaan ini memaksa kami berada di tengah sebagai penggerak semangat warga untuk membangun dan berusaha tidak memihak. Teknik negosiasi menjadi pegangan dalam mengarahkan pilihan warga setempat hingga mencapai kesepakatan bersama.
Sementara bentuk pembangunan yang dilakukan, seperti renovasi mushala, pembuatan kamar mandi umum, dan pemasangan lampu jalan. Program-program dibuat berdasarkan kebutuhan warga dari hasil musyawarah.
Hal yang menarik dalam program pengabdian ini adalah gotong royong yang terbangun antara peserta KKL dan warga. Selain belajar hidup sederhana, kami juga belajar ikhlas menyumbang tenaga dan pikiran demi kemajuan desa. Kami juga menjadi memahami keadaan masyarakat lokal, bukan melulu tahu soal masyarakat kota.
Friderikus Hia, Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan