Sepotong Eropa di Jakarta
Apa yang terlintas di pikiran Mudaers saat mendengar kata pusat kebudayaan?
”Itu semacam museum, ya?”
”Kayaknya enggak seru, deh.”
Eit, jangan salah, pusat kebudayaan adalah tempat yang tidak kalah seru dengan mal yang bertebaran di wilayah Jakarta.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pusat kebudayaan merupakan tempat membina dan mengembangkan kebudayaan. Kedengarannya mungkin membosankan, tetapi apa kalian tahu, menonton film juga merupakan salah satu cara membina dan mengembangkan kebudayaan, lho!
Di Jakarta, ada sejumlah pusat kebudayaan dari seluruh dunia. Sejumlah pusat kebudayaan alias institut budaya adalah lembaga yang berfungsi memperkenalkan budaya negara yang diwakilinya.
Setiap institut menawarkan berbagai kegiatan seru dan fasilitas lengkap yang membuat siapa pun tertarik berkunjung, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Beberapa pusat kebudayaan yang terkenal bertempat di Menteng, seperti Goethe Institut, Istituto Italiano, dan Institut Francais. Ketiga pusat kebudayaan tersebut bertugas mengenalkan kebudayaan negara mereka masing-masing, Jerman, Italia, dan Perancis, ke Indonesia.
Kamis (13/7), kami tertarik mengunjungi beberapa institut kebudayaan Eropa yang letaknya saling berdekatan, yaitu Istituto Italiano, Goethe Institut, dan Institut Francais.
Baca keseruan kisah kami!
Pagi itu kami menyusuri trotoar di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng. Udara mulai panas hingga kami menemukan bangunan bergaya rumahan yang tampak depannya sangat apik, penuh dengan pepohonan dan tanaman perdu. Di bagian gerbang depan tertulis Istituto Italiano di Cultura. Melalui pintu depan, kami melihat pamflet berbagai ajang kebudayaan terpampang di papan resepsionis.
”Hai, kalian,” sapa bagian Humas Istituto Italiano di Cultura. Dian dengan ramah menyambut kami.
Dia mengajak kami berkeliling Istituto Italiano. Hingga tiba kami di ruangan kosong yang bagian dindingnya penuh berbagai lukisan seniman Italia. Menurut rencana, ruang tersebut untuk ruang makan peserta kebudayaan. Alasan dibuat gambar tersebut adalah untuk mengisi kekosongan pada dinding.
Uniknya, ada sebuah lukisan yang jika dilihat langsung tidak berpola, tetapi setelah di foto barulah tampak jelas menyerupai wajah seorang pria.
Begitu pula dengan Goethe Institut. Ada suatu ruangan untuk berbagai kegiatan. Di situ ada bagian dinding untuk memajang aneka foto-foto kepala Goethe Institut dari seluruh dunia.
”Di sini sering kali berlangsung pameran, diskusi, dan banyak acara lain,” kata Ulrike Klose, biasa dipanggil Ike.
Dia adalah Koordinator Hubungan Masyarakat Goethe Institut. Ike yang asli Jerman sudah lima tahun tinggal di Indonesia dan sekarang menikah dengan pria Indonesia. Menurut Ike, orang Indonesia sangat ramah dan baik.
Tak kalah menarik di lingkungan ini tersedia kantin yang menyediakan aneka masakan khas Indonesia, seperti lontong sayur dan kering tempe.
Banyak warga asing yang memesan makanan di kantin itu. Itu sebabnya para pelajar asing begitu familiar dengan masakan Indonesia.
Sungguh suatu cara yang baik untuk memperkenalkan masakan Indonesia kepada mahasiswa luar Indonesia dengan harga terjangkau.
Kamis siang, kami mendatangi Institut Francais Indonesia (IFI). Institut ini berlokasi di jalan yang sangat ramai dan sering macet.
Selepas pos pengamanan, ada berbagai monumen kebanggaan negeri Perancis langsung menyambut kedatangan semua pengunjung. Pantas saja area ini menjadi arena swafoto. Di situ banyak orang duduk saling mengambil foto. Keberadaan area ini sungguh di luar dugaan kami saat pertama kali datang.
Atase pers IFI, Dwi Setyowati, mengajak kami berkeliling, mulai dari ruang kelas hingga kantor. Ada pula restoran yang menyediakan berbagai makanan khas Perancis. Ada hidangan penutup yang terkenal di kalangan anak muda, yaitu macaron, kue berbentuk lingkaran kecil dalam berbagai warna dengan tekstur renyah dan bercita rasa manis.
Kelas memasak
Di lahan pusat kebudayaan ini berdiri bangunan yang mengingatkan kita akan rumah di pedesaan kuno Italia. Pagar tinggi tertutup perdu hijau mengitari bangunan tersebut. Rumah itu adalah Istituto Italiano di Cultura, pusat kebudayaan Italia di Indonesia. Begitu masuk ke ruangan, kami disambut dengan keramahan budaya Italia yang tecermin dari sang Direktur Istituto Italiano di Cultura Michela Linda Magri. Kami diantar ke ujung lorong. Dari sana merebak wangi roti yang baru keluar dari oven.
Rupanya, di sana terdapat dapur yang digunakan untuk kelas memasak ala Italia. Suasana dapur sangat ceria oleh antusiasme para peserta.
Mereka sedang membuat roti pane dan dengan logat Italia yang kental, Michela berkata ”Eat this!” sembari menyodorkan sepiring pane dengan semangkuk kecil minyak zaitun. Pane terasa lebih lembut saat dimakan dengan cocolan minyak zaitun. Pane adalah roti Italia berbentuk silinder yang teksturnya agak padat. Michela pun menawarkan berbagai makanan khas Italia hasil kelas memasak.
Siapa sangka, datang ke institut kebudayaan tidak hanya menambah pengalaman dan pengetahuan, tetapi juga membuat perut kenyang.
Magengers Batch 9 Kelompok 5 (Pascalis, Aizah Diena Hanifa, SMA Negeri 2 Cibinong, Rianita Gunawan, SMA Santa Ursula Jakarta, Alam Afrizal, SMAN 4 Depok, Jeremy Mahaputra Duta Pamungkas, Ora et Labora BSD, Nada Dizka Krisanti