Argumentasi
Beradaptasi dengan Lingkungan Baru
Theresia Dyan Shinta Artuti, Program Studi Public Relations ASMI Santa Maria Yogyakarta
Ajang ini membuat saya mau mengalahkan ego pribadi dan terus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Keduanya sangat memerlukan keberanian. Dari beragam kegiatan itu, saya belajar mengenal sifat orang lain dan tidak suka menduga-duga agar tidak salah bertindak.
Proses adaptasi sangat berpengaruh dalam menentukan sikap kita kelak. Jika sanggup beradaptasi, hidup kita akan lebih nyaman.
Dua Kali
Steffanie, mahasiswa D4 UPW Diknas Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, penerima beasiswa double degree di Burapha International College, Saensook, Chonburi, Thailand
Saya dua kali melalui proses adaptasi untuk kuliah. Pertama ketika datang ke Jakarta, kedua ketika menempuh kuliah double degree di Thailand. Keduanya mengharuskan saya indekos dan bertemu dengan banyak teman baru. Kiat saya terus berusaha dan rajin berdoa.
Di Jakarta tidak terlalu sulit karena persamaan bahasa, makanan, sikap, dan gaya bercanda. Apalagi, saya lahir di Jakarta. Proses adaptasi memerlukan paling lama dua bulan dan untuk memudahkan proses itu saya ikut organisasi serta kepanitiaan di kampus.
Begitu di Thailand, saya kangen rumah. Begitu banyak perbedaan mulai dari bahasa, makanan, dan lebih parah karena saya tidak bisa ikut organisasi karena tidak bisa berbahasa Thai. Kuliah dalam bahasa Inggris menambah kesulitan.
Untuk mengatasinya, saya berteman dengan rekan kuliah dan rajin bertanya ke dosen. Membuang malu agar nilai tak jeblok. Setelah lima bulan, saya bisa beradaptasi termasuk menikmati hidangan Thailand.
Tilang
Mohammad Nur Fais, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang
Tahun 2014, saya mahasiswa baru di Universitas Diponegoro, Semarang. Belum kenal dunia kampus dan tidak punya kenalan di kota tersebut. Pengalaman pertama kena tilang di daerah Tugu Muda saat sedang mencari indekos. Hal itu menjadi pelajaran penting karena saya berasal dari desa dan baru pertama kali ke kota.
Mencari indekos ternyata tidak mudah. Setelah mencari ke sana-sini akhirnya saya menemukan Pesantren Mahasiswa (Pesma) Al-Fattah di daerah Sumurboto, Ngesrep. Setelah mendaftar dan diseleksi, saya pun diterima di pesantren itu. Seminggu kemudian saya menetap di sana dan mendapat teman baru. Namun, saya kangen rumah dan kedua orangtua. Selama dua minggu saya didera rindu.
Untuk itu, saya aktif dalam banyak kegiatan. Lebih menyenangkan lagi semua santri adalah mahasiswa sehingga tiap malam selalu ada kajian. Setelah sebulan saya merasa nyaman dan keinginan kuat untuk pulang pun terlupakan.
Lima Kesulitan
Marius Beni Baki, Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Ada lima kesulitan yang saya alami ketika masuk kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pertama, bahasa. Di daerah asal saya, Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur, terbiasa menyingkat kata seperti su untuk sudah, pi untuk pergi. Omongan saya pun sulit dimengerti teman kuliah. Saya juga berpikiran negatif kala mendengar teman berbahasa Jawa karena menduga mereka menertawakan saya.
Kedua, pandangan stereotip terhadap warga dari Pulau Timor, yakni kasar dan suka membuat onar. Ketiga, masih membawa kebiasaan saat SMA terutama saat menulis makalah yang minus referensi. Keempat, lingkungan kampus dan prasarana modern yang serba baru untuk saya. Kelima, penggunaan teknologi seperti untuk mengumpulkan tugas kuliah.
Saya pun belajar berbicara lebih lambat dan tidak menyingkat kata. Saya menunjukkan stereotip itu tidak benar dan menjalin relasi yang baik. Saya juga memperbanyak bahan bacaan dan referensi. Saya belajar ekstra untuk urusan serba daring dan sering ke perpustakaan serta berkonsultasi dengan teman-teman dan dosen soal penggunaan aplikasi kuliah. Semua itu akhirnya membantu saya kuliah di era digital.
Aktif Berorganisasi
Muhammad Aldiansyah Febrian Azura, Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta
Sebagai mahasiswa baru, saya paling takut masa pengenalan akademik dan proses beradaptasi dengan kawan-kawan baru serta para senior. Saya makin gentar karena di program studi yang sama tidak ada orang yang saya kenal di kampus. Parahnya, saya sering canggung berkomunikasi.
Mengatasi kendala ini, saya mengikuti organisasi sesuai minat, yakni di bidang seni dan sastra. Saya ikut organisasi yang fokus di bidang penalaran, literasi, serta public speaking. Cara ini membantu saya lebih berani dan tidak canggung lagi berkomunikasi dengan teman baru sekalipun berbeda angkatan.
Lewat organisasi, saya tidak hanya mendapat teman satu prodi, tetapi juga dari prodi lain. Saya pun mendapat relasi lebih banyak. Jujur saja, hal itu sangat menyenangkan saya. (TIA)