Kampus Baru, Lingkungan Anyar
Semuanya menuntut kita segera beradaptasi. Tempat dan teman kos baru, sebagian lagi harus menetap di asrama, dan pasti di lingkungan yang juga baru.
Bagi mereka yang kuliah jauh dari orangtua di kota berbeda, proses adaptasi makin berat. Mereka harus mampu mengatasi berbagai persoalan sekaligus. Misalnya, mengatur uang saku, mengatur tenaga, menjaga stamina dan kesehatan agar tak mudah sakit. Pokoknya harus beradaptasi dengan segala hal, mulai dari makanan hingga bahasa dan pergaulan yang berbeda dengan kota asal.
Menurut pengalaman Muhammad Aditya Hernanto, mahasiswa semester III Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya, Malang, proses adaptasi yang sulit adalah mata kuliah. Pasalnya, selama sekolah di SMA Negeri 1 Tambun, Bekasi, dia adalah siswa jurusan IPA.
”Sosiologi, kan, IPS banget. Saya keteteran, kalah ketimbang mereka yang lulusan IPS. Untung saja banyak teman yang membantu sehingga kuliah menjadi menyenangkan,” kata Adit.
Jadwal kuliah yang berbeda dengan jadwal jam pelajaran semasa SMA juga butuh penyesuaian. Namun, Adit betah kuliah di jurusan sosiologi karena solid dan teman-temannya menyambut dengan tangan terbuka. ”Di Malang udara sering dingin, sampai kita perlu mengenakan sweter. Beda ama Bekasi,” ujar Adit.
Soal makanan, Adit juga tak rewel karena pada dasarnya dia senang mencoba makanan baru. Lagi pula karena sekarang di Malang banyak mahasiswa dari sejumlah kota besar, seperti Jakarta dan Bandung, makanan yang sedang hit di kota-kota itu pun mudah dijumpai di Malang.
”Saya suka banget dengan nasi pecel telur. Di sekitar kampus juga banyak makanan enak. Sekarang saya juga mulai belajar bahasa Jawa, apalagi orangtua saya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,” katanya.
Rekan kuliah Adit, Usdha Annisya, juga kaget saat baru pertama kali kuliah. Dia berasal dari Sambung Macan, Sragen, Jateng, dan lulus dari MAN Tebu Ireng, Ngawi, Jatim. Dari sekolahnya ada lima siswa yang melanjutkan studi ke Universitas Brawijaya, tapi hanya dirinya yang pilih Sosiologi.
”Saya terkejut dengan gaya bicara orang Malang dan gaya bercanda mereka. Namun, saya beruntung karena mudah mendapat teman baru. Saya juga senang berkenalan dan berteman dengan mahasiswa lain dari luar Sragen,” tutur Usdha.
Bagi dia, kuliah di Malang menyenangkan karena iklimnya lebih nyaman ketimbang daerah asalnya di perbatasan Jateng dan Jatim. Dia juga tak terlalu sulit beradaptasi dengan makanan di Malang. ”Hampir sama, tetapi harganya sedikit lebih mahal ketimbang di Sragen,” ujarnya.
Lingkungan baru kampus memang menjadi pengalaman tersendiri. Geraldus Vito, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin Universitas Tarumanagara, Jakarta, merasakan geli sendiri saat bertemu teman-teman baru. ”Ada temen yang ternyata dari Tegal, Jawa Tengah. Medok Jawa banget, buat telinga orang Jakarta logat bahasanya memang terasa aneh. Kita malah makin bisa akrab bergaulnya,” kata Vito.
Hal serupa juga dialami Adina Fayza, mahasiswi Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Multimedia Nusantara, Serpong. ”Kalau orang Jakarta seringnya sebut gue atau elu, nah di kampus sampai sekarang ada saja teman yang sebutnya pakai aku atau kamu. Tapi, logat omongnya masih khas daerah sekali,” kata Adina.
Awalnya malu-malu
Berteman dan mencari teman baru pun butuh waktu. ”Awalnya sih malu-malu buat sekadar menyapa teman-teman baru. Untungnya, ada masa ospek. Walaupun capek, ospek juga membantu banget untuk bisa kenalan,” kata Kaizen Lolo Octavio, mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia.
Soal cara belajar di kampus, Lolo merasakan perlu beradaptasi lagi. Sebab, ada perbedaan mencolok dibandingkan masa di SMA. ”Kalau masa SMA, murid seperti disuapin ilmu-ilmu oleh guru, sedangkan kuliah justru diajarkan mandiri, benar-benar harus belajar sendiri,” ujar Lolo.
Banyak hal bisa dilakukan untuk mendapatkan kesan pertama di kampus baru. Seperti halnya Aburizal Katami (19), mahasiswa semester tiga Fakultas Manajemen Informasi dan Komputer Universitas Jayabaya, Jakarta, membuat kesan pertama yang unik kepada teman-temannya.
Dalam membuat kesan pertama ia menjadi orang yang lucu dan kocak bagi teman teman-temannya. Saat pertama kuliah, dia salah masuk kelas. Setelah bertanya kepada teman yang berada di sampingnya, ternyata kelas yang ia masuki adalah kelas jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi. Sontak ia kaget lalu meminta izin untuk keluar karena salah kelas. Pengalaman lucunya itu menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
Sementara Archel Putra (19) lebih sering menghabiskan waktunya bersama game online di saat awal menjadi mahasiswa di Universitas Jayabaya. Mahasiswa asal Jonggol itu juga mengaku bisa berbaur dengan teman sekampusnya berkat sama-sama memiliki hobi bermain game online.
Cara lain untuk mendekatkan diri dengan mahasiswa lain adalah dengan mengikuti organisasi kampus. Seperti halnya Ainun Hofifa (20). Mahasiswa semester lima Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta ini lebih memilih ikut serta dalam organisasi kampus.
Menurut dia, mengikuti organisasi kampus itu bisa lebih mengenal orang lain dengan baik, seperti gaya bicara, kebiasaan, dan perilakunya sehari-hari. Organisasi yang diikutinya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa STAN Jakarta.
”Kalau aku lebih suka masuk organisasi supaya bisa lebih kenal dengan lingkungan kampus,” katanya saat ditemui di STAN Jakarta, Tangerang Selatan, Rabu (13/9).
Selain mengenal lingkungan kampus, ia juga menyatakan di dalam organisasi merupakan ajang bertukar pikiran dan tempat curhat dan bercanda tawa.
Nah, banyak cara untuk beradaptasi dengan kampus dan lingkungan baru, ya. Yuk move on! (TIA/OSA/**)