Kala Santri Melawan Hoaks
Media sosial (medsos) dimanfaatkan santri untuk membagikan tulisan positif dan melawan berita bohong atau hoaks. Salah seorang santri Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah, M Afifudin (22), mengatakan, penyebaran berita bohong melalui medsos kian marak.
”Sebagai pengguna medsos, kita harus hati-hati. Kita harus mencari kebenaran dari informasi yang masuk sebelum memercayainya, apalagi membagikannya. Lebih-lebih kalau informasi itu bernada provokasi. Ini tecermin dari pemilihan judul dan biasanya bersumber dari alamat situs yang tidak jelas,” katanya.
Ia merasa beruntung tinggal di pondok pesantren (ponpes) yang membiasakan santri bersikap terbuka dan saling menghargai. Interaksi personal dan beragam pendapat para santri yang intens membuat mereka dapat menarik benang merah terkait penggunaan medsos yang bijak. ”Di medsos pun ada sopan santun yang harus kita patuhi,” ucapnya.
Peserta lainnya, Suci Amaliyah (21), menuturkan, peredaran hoaks bisa dilawan dengan berita positif. Salah satu caranya dengan mendorong santri aktif menulis dan membagi informasi sesuai bidang keilmuannya di akun masing-masing.
Selama ini dia telah memanfaatkan akun miliknya, seperti Facebook dan Instagram, untuk berbagi ilmu dan informasi sahih tentang isu-isu yang berkembang. ”Apalagi, belakangan ini banyak informasi bohong dan bernada provokasi tentang agama. Peran santri diperlukan untuk melawan hoaks semacam itu,” katanya.
Menurut Wakil Ketua IPNU Imam Fadli, salah satu tujuan diadakannya pelatihan adalah mengembangkan potensi santri dalam menulis. Kebisaan dan kebiasaan menulis akan membuat santri mampu membagikan buah pikirannya dengan jelas dan benar.
”Menulis di medsos juga harus jelas, mudah dipahami, dan akurat. Selain itu, santri juga diharapkan mau berbagi dan membiasakan teman-teman santrinya menulis setelah kembali ke pondok masing-masing,” kata Fadli.
Dia mengingatkan peran santri untuk menyebarkan informasi tentang Islam yang ramah. Tulisan positif dan tidak berpihak sangat diperlukan untuk melawan radikalisme yang banyak beredar di medsos. ”Dengan ilmu yang dimilikinya, para santri memiliki potensi menggambarkan secara menyeluruh tentang Islam, seperti dari sisi agama dan fikihnya,” kata Fadli.
Membuat koran
Pelatihan jurnalistik tersebut diikuti 53 santri dari sejumlah ponpes se-Jawa Tengah. Pada hari terakhir pelatihan, para santri mampu membuat koran. Berita dan tulisan dalam koran buatan para santri itu berdasarkan informasi yang mereka dapatkan dari wawancara langsung di lapangan.
Selain masalah hoaks, berita yang muncul dalam koran para santri di antaranya tentang sepak bola yang menjadi olahraga favorit santri pria. Sementara santri putri umumnya menyukai bulu tangkis. Untuk mendapatkan berita tersebut, mereka melakukan survei terhadap 250 santri Ponpes Ma’hadut Tholabah.
Tulisan lain tentang berdakwah lewat medsos, masalah kesehatan dan kebersihan di ponpes yang masih memprihatinkan, serta persaingan antara toko kelontong dan toko waralaba yang merangsek sampai ke desa.
Ponpes Ma’hadut Tholabah sendiri termasuk ponpes tertua di Tegal. Berdiri tahun 1916, ponpes ini memiliki lembaga pendidikan madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah sejak tahun 1968. Kini ponpes diasuh generasi ketiga dengan jumlah santri sekitar 2.500 orang dan yang bermukim di ponpes sekitar 1.000 orang. (KRN/CP)