Tiga Malam Nyaris Tanpa Berujung
Kabut menebal sejak petang hingga malam pada Sabtu (23/9). Musik masih berdentam di panggung Rumamera, salah satu panggung di atas bukit. Kelompok rap Medium Rare menguasai panggung kecil yang atap vinilnya berbentuk segi tiga itu. Saat itu sudah hampir pukul 23.00, tetapi belum ada tanda-tanda musik bakal berhenti.
Setelah Medium Rare menyemburkan larik kata-kata berkecepatan tinggi, giliran trio elektronik pop Goodnight Electric dari Jakarta naik panggung. Grup yang sudah cukup lama malang melintang di arena musik pop ini menyuguhkan sajian yang agak berbeda. Lagu lama seperti ”The Supermarket I am In” dimainkan lewat petikan gitar.
Trio ini melambatkan tempo lagu yang biasanya memanaskan lantai dansa itu. Kali ini lagunya pelan-pelan saja. Beberapa orang beringsut ke belakang arena. Di halaman belakang, ada kursi-kursi kayu. Orang-orang bercengkerama di sana.
Di sebuah sudut, ada meja tempat kopi dan teh tersaji. Orang bebas menyeruput minuman hangat sesuka-suka mereka, tetapi bikin sendiri. Air panas ditampung di baskom besar dengan bakaran arang untuk menjaga suhu air. Sekeliling bakaran arang itulah yang membuat betah berlama-lama di sana.
”Geser dikit aja, rasanya langsung dingin,” kata Adi, teman dari Yogyakarta yang sudah pakai jaket tebal dengan bulu-bulu di sekitar leher. Dia berinisiatif menambah arang dan meratakan bara demi menjaga kehangatan. Gerak-geriknya luwes. Dia sepertinya terlalu sering nongkrong di warung angkringan.
Goodnight Electric main sekitar 45 menit. Acara berikutnya adalah sayembara karaoke yang dipandu Oomleo alias Narpati Awangga. Aturannya, peserta menyanyikan lagu pilihannya. Namun, kenyataannya, yang nyanyi bukan cuma pemilih lagu, melainkan semua orang yang ada di depan arena. Oomleo menembakkan lirik lagu yang sedang diputar ke layar lebar.
Semua bernyanyi dan bergoyang. Lagu yang diputar merentangi berbagai era, mulai dari lagu dari band masa kini semacam The Weeknd, The xx, dan MIA mundur ke era Oasis, Morrissey, dan ABBA. Menyempal pula lagu ”Bujangan” dari Koes Plus.
Ingar-bingar itu baru berakhir sekitar pukul 02.30 pagi dengan lagu lawas milik Roxette ”It Must Have Been Love” ketika suhu udara menunjukkan angka 20 derajat celsius. Saatnya melepas penat di balik kantong tidur (sleeping bag) di dalam tenda dome.
Malam sebelumnya juga berakhir pada jam yang nyaris sama, juga dengan koor massal. Duo pemilih lagu (selector) bernama Diskoria bertanggung jawab atas keriaan di panggung Gang Senggol kali itu.
Mereka memutar lagu-lagu populer nostalgia dalam negeri. Siapa sangka peserta yang dandannya unik dan keren itu pada hafal juga lagu milik Krisdayanti dan ME Voice. Ini nostalgia, semua pasti suka.
Panggung baru
Lagu-lagu pilihan Diskoria menutup rangkaian acara hari pertama. RRRec Fest keempat ini dibuka solois Frau alias Leilani Hermiasih asal Yogyakarta, Jumat (22/9). Biasanya Lani ditemani Oskar, piano elektriknya. Malam itu, ia menjajal piano dari sponsor acara. Di badan piano pinjaman itu ada stiker bertuliskan G-A-D. ”Mari kita beri nama dia (piano) Ebiet,” kata Lani.
Frau membuka penampilannya pukul 20.00 dengan lagu ”I’m a Sir”. Ia tampil di Panggung Pinus. Sesuai namanya, area itu dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang. Panggung kecil di area itu baru pertama kali dipakai dalam RRRec Fest. Tata lampu bernuansa biru, magenta, dan kuning banyak menyoroti ranting-ranting pohon, sesekali ke arah Lani. Apik sekaligus syahdu.
Setelah Frau menyelesaikan lagu tambahan ”Arah”, keramaian pindah ke arena Gang Senggol. Untuk menuju ke tempat itu, penonton harus berduyun-duyun menyusuri jalan setapak agak licin menaiki bukit dan mengelilingi lembah dengan jarak hampir 1 kilometer. Perjalanan itu sungguh membuat napas terengah-engah. Jalani saja, namanya juga berkemah di hutan.
Selain area Pinus, tempat yang baru pertama kali dipakai pertunjukan adalah Warung Oji, persis di tengah-tengah perjalanan antara Pinus dan Gang Senggol. Tempat itu benar-benar warung yang dikelola awak Rakata Adventure. Mereka menjual kopi Nusantara, juga mi ayam seharga Rp 20.000 yang rasanya enak banget.
”Panggung” Warung Oji menampilkan penyanyi folk Oscar Lolang asal Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, pada Sabtu siang, juga Aubrey Fanani dari Jakarta pada malam harinya. Aubrey, dengan gitar bolong dan lagu tentang keseharian, bernyanyi diselimuti kabut yang menyaru dengan asap bakaran kayu. Gorengan dan kopi tubruk adalah hidangan paten pada suasana begitu.
Otentik
Gaya musik folk yang disajikan Oscar dan Aubrey mungkin sudah sering terdengar. Namun, mereka punya ciri masing-masing. Cara bernyanyi Aubrey bisa jadi bakal membuat juri kontes nyanyi menggelengkan kepala. Tetapi, lirik Aubrey punya sudut pandang otentik tentang pekerjaan liputan ataupun pedekate pra-pacaran.
Begitu pula Oscar. Ia bernyanyi dengan suara sengau—agak mengingatkan pada Bob Dylan—tetapi sesekali ia terdengar seperti penyanyi seriosa. Lagunya berceloteh tentang banalnya pembangunan Kota Bandung, juga tragedi-tragedi di Papua.
Paparan musik di RRRec Fest selalu semenarik itu. Peserta seperti disodorkan pada musik yang tidak biasa. Tahun ini ada duo beda negara, Filastine & Nova—tercatat berdomisili di Barcelona. Ada juga grup The Venopian Solitude dari Selangor, Malaysia.
Musik Filastine & Nova bertumpu pada ketukan elektronik yang diselingi tabuhan pada drum bersenar, juga kerangka kereta dorong. Di antara tetabuhan itu ada petikan gitar elektrik beraroma blues dari gitaris legendaris Totok Tewel. Layar yang melatari aksi mereka menampilkan gambar-gambar para imigran pencari suaka.
Di ujung penampilan, ketiganya membuka koper yang rupanya berisi parasut. Parasut itu mereka bentangkan ke kerumunan penonton. Filastine, Nova, dan Totok bergabung dalam kerumunan dan berputar-putar seolah-olah mereka adalah para imigran yang mendarat darurat bersama-sama di negeri entah. Dunia tidak baik-baik saja, tetapi musik tak boleh berhenti.
Sementara The Venopian Solitude (TVS), berisi tujuh awak, memainkan musik pop dengan nuansa melayu. Pukulan rancak pada rebana mengiringi omelan Taka, vokalisnya pada lagu ”Mahar”.
Hari terakhir, Minggu (24/9), malamnya tidak terlalu panjang. Acara berujung hanya sampai pukul 20.00. Peserta, penampil, dan panitia kembali ke Jakarta bersama-sama naik bus. Lalu, hari berikutnya dibuka dengan kegagapan. ”Mana pohon-pohon pinusnya,” tukas Ruvi, drumer TVS, yang Senin pagi itu terbangun di sebuah hotel di Tebet, Jakarta.