Menebar Selera sampai Jauh
Petang yang hening di tepi danau buatan penuh eceng gondok terusik dengan kebisingan dari dalam gedung Prolog Art Building, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/10). Musik jazz rock di dalam ruangan studio kencang bergemuruh hingga ke halaman. Ada band Loca’ sedang latihan. Mereka mau tampil pada Sabtu di sebuah festival kreatif anak muda Makassar.
Prolog Art Building adalah ruang kreatif yang digagas Juang Manyala (27). Dindingnya berhias mural. Dua sudut depan terdapat set sofa tempat bercengkerama. Ada rak yang menampung kaset dan CD band-band Makassar, juga band indie dari sejumlah kota lain.
Di seberang ruang studio yang menjorok di bagian dalam, ada ”laboratorium” suara tempat Juang meracik (mixing) hasil rekaman. Di ruangan yang rapi dan nyaman itu pula dia menyusun musik latar untuk beberapa film, termasuk Athirah besutan Riri Riza dan, yang teranyar, film Suhu Beku, garapan Rusmin Nuryadin.
Film Suhu Beku berkisah tentang sekelompok anak SMA yang membuat band bernama sama dengan judul filmnya. Band itu bergabung dalam label rekaman Vonis Records yang dibentuk Juang sejak 2011.
”Awalnya Vonis Records itu untuk mewadahi band saya sebelumnya, Melismatis,” kata lulusan Jurusan Seni Musik di Universitas Pasundan, Bandung, ini. Enam personel Melismatis, yang saling kenal sejak bocah, berpatungan memproduksi sendiri album pertama mereka Finding Moon.
”Sempat bertemu dengan label di Jakarta dan mereka mau memproduksi album kami. Namun, kami pikir-pikir lagi, kami ingin mengerjakan sendiri karena ini album pertama,” kata Juang dengan gaya bicara yang cepat. Mereka menginginkan karya pertama sebagai monumen usaha sendiri.
Maka, Melismatis memakai Vonis Records sebagai wadahnya. Nama Vonis diambil dari majalah yang mereka buat sebelumnya pada 2009. Majalah swadaya yang berisi ulasan musik, film, dan literatur karya anak Makassar itu sempat terbit tiga edisi dan dilanjutkan dalam bentuk digital sampai 2014.
Milesmatis menghasilkan dua album lantas dihentikan karena anggotanya sibuk bekerja. Chaidir Isham (24) alias Didi, seorang penyiar radio di Madama FM, menyayangkan keputusan itu. Ia adalah penggemar Melismatis. ”Acara musik di Makassar tanpa Melismatis rasanya ada yang kurang,” kata Didi.
Band itu, melalui kerja Vonis Records, memberi warna baru di kancah musik independen Makassar. Mereka pernah menggelar tur delapan kota mulai dari Manado, di sisi utara, dan berakhir di Makassar di sisi selatan pada 2013. Mereka juga berani merancang dan mengerjakan konser tunggal secara mandiri di Gedung Kesenian Makassar.
Hal-hal itu membekas bagi penikmat musik independen di Makassar, seperti Didi, juga empat personel Suhu Beku yang saat itu masih duduk di bangku SMA. Juang tak menyangka apa yang mereka jalani sebelumnya ternyata memberi pengaruh.
Awak Vonis Records pun merasa demikian. Ibaratnya, genderang sudah ditabuh. Semangat dan kesenangan menjalankan label rekaman itu harus dilanjutkan. Suhu Beku adalah nama pertama yang mereka ajak gabung.
Sebagai produser, Juang ikut terlibat dalam workshop konsep lagu, termasuk aransemen dan komposisi. Lagu itu ia rekam dan gandakan dalam bentuk CD, beredar pada perhelatan Record Store Day Makassar pada April 2017. Setelah album keluar, Vonis Records tak lepas tangan. Juang memikirkan bagaimana memasarkan band baru ini.
Pada suatu kesempatan, sineas Arman Dewarti mengutarakan niat membuat film tentang band. Kesempatan itu tak disia-siakan. Juang mengajukan Suhu Beku untuk difilmkan. Usahanya berhasil juga. Tiga hari setelah filmnya turun layar, tawaran manggung berdatangan. Pengundangnya sampai berani bayar jutaan rupiah untuk mereka.
Saat ini, Vonis Records sedang menggodok penyanyi solo, Maizura, siswi kelas III SMA yang punya banyak pengikut di Instagram. Berbarengan dengan itu, Juang juga sedang menggenjot band barunya Loca’ yang terbentuk sekitar tiga bulan silam.
”Nanti akan ada strategi tertentu untuk Maizura dan Loca’. Kami mempelajari pola kerja Juni Records di Jakarta,” kata Juang. Juni Records adalah label yang memayungi Raisa dan Barasuara. Targetnya, album Maizura dan Loca’ bakal keluar Februari nanti. Kancah permusikan Makassar bakal makin semarak, nih.
Selera meluas
Dari Bandung, tempat Juang memuaskan hasrat menonton musiknya, ada juga label rekaman Orange Cliff Records, yang berdiri pada 2012. Empat sekawan dari kampus Institut Teknologi Bandung, Anindito Ariwandono, Risyad, Haikal Azizi, dan Mirfak Prabowo, adalah empat pilar di balik label ini.
Dua nama terakhir adalah personel band rock Sigmun. Serupa dengan jejak Vonis Records, Orange Cliff Records awalnya dibuat sebagai rumah bagi Sigmun. Produk pertama mereka adalah album kompilasi tiga band, yaitu Sigmun, Suri, dan Jelaga, dalam format piringan hitam, keluaran 2012.
Album itu diluncurkan di atas Bukit Moko, Kabupaten Bandung, tempat yang nyaris terlewatkan oleh pengelola acara musik pada waktu itu. Jalur menuju lokasi itu menanjak tinggi, tetapi penonton tetap banyak. Piringan hitamnya pun—sejumlah 100 keping—ludes begitu acara selesai. Mereka senang.
Hingga saat ini, ada lebih dari 20 album yang telah mereka keluarkan. Sebagian besar album mereka bercita rock yang berat, istilahnya stoner rock. Orange Cliff Records turut bertanggung jawab atas mewabahnya genre ini di kancah musik Indonesia.
”Selera anak-anak (teman-temannya) makin meluas. Makin ke sini, makin nemu (musik) yang bagus-bagus. Ada industrial, mathrock, sampai pop antik gaya Perancis,” kata Anindito, alias Dito, beberapa waktu lalu. Mini album penyanyi tunggal Vira Talisa adalah satu-satunya artis perempuan yang mereka produksi.
Para awak Orange Cliff mencari pemusik baru lewat internet, selain masih menerima demo. Kalau ada yang nyantol, temuan baru itu didiskusikan. Pilihan akan dijatuhkan pada musik yang referensinya bagus. Tentu saja bagus menurut ukuran mereka.
”Cari musik yang orisinal itu sulit. Makanya, kami fokus pada lagu yang, jika didengar, referensinya tidak terlalu kentara,” lanjut Dito. Insting itu tak selamanya berhasil. Ada juga album yang penjualannya jeblok. Hal itu tidak terlalu dipusingkan. Bagi mereka, itulah risiko investasi pada sesuatu yang berdasarkan kesukaan. ”Namanya juga labour of love,” katanya.
Rilis ulang
Kesukaan juga jadi alasan bagi Alfian, David, dan Gandes yang tinggal di Tangerang, Banten, bersekutu membuat label Langen Srawa Records. Label ini baru ada sejak Agustus lalu. Produk awal mereka adalah empat album format kaset, yaitu album band Ballads of the Cliché, Dear Nancy, Morfem, dan Candrabhakti. Keempatnya diedarkan serentak dalam acara Cassette Store Day, 14 Oktober lalu.
Candrabhakti yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah, itu belum pernah merilis album apa pun sebelumnya. Alfian mengaku langsung suka begitu mendengar lagunya secara tak sengaja lewat YouTube. Adapun tiga nama lainnya merupakan band lama yang albumnya sudah sempat beredar dalam format CD.
”Kami mengedarkan ulang album lama yang kami suka. Harga album-album itu di pasaran mahal banget karena langka. Jadi, kami pengin penggemarnya enggak kesulitan kalau mau mengoleksi album itu,” kata Alfian (27). Mereka mengetahui peta pasar karena sebelumnya Langen Srawa adalah toko online album musik.
Album yang sebelumnya tergolong langka nantinya bakal mereka produksi terus selama masih ada permintaan. Namun, tak cuma bermaksud melanggengkan nostalgia, Langen Srawa juga berencana memproduksi album dari band baru yang bakal keluar November nanti.
Berbeda dengan Vonis Records dan Orange Cliff Records, Langen Srawa belum ikutan mengurusi rekaman musisi yang mereka produksi. Band-band itu menyerahkan induk rekamannya untuk mereka gandakan.
Tiga label rekaman itu hanya sedikit contoh dari begitu banyaknya label rekaman independen di Indonesia. Gerakan produksi mandiri yang mulai marak di pertengahan 1990-an itu kini telah beranak pinak.