Seandainya Saya Orang Indonesia…
Pengantar Redaksi:
Saat Indonesia berusia 100 tahun, generasi milenial akan ikut andil menentukan wajah Indonesia saat itu. Nah, bagaimana mereka membayangkan masa depan Indonesia?
Melalui Kompetisi Esai dan Vlog #100tahunIndonesia, Kompas mengajak generasi muda memikirkan masa depan. Mulai dari sekarang, suara mereka untuk menapaki masa depan bangsa Indonesia harus didengarkan.
Pada edisi kali ini, kami menampilkan juara 1 Kompetisi Esai # 100 tahun.
K-pop membuat saya mencintai sebuah negeri indah bernama Korea Selatan. Saya belum pernah pergi ke sana. Namun, mengapa saya suka berpikir, ”seandainya saya orang Korea” untuk bisa menikmati langsung film, musik, dan kulinernya.
Pemikiran itu merupakan refleksi pribadi terkait seberapa jauh industri kreatif dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, hingga tindakan individu. Saya merenungkan betapa hebatnya kekuatan integrasi industri kreatif Korsel sehingga mampu menembus batas bahasa dan kebudayaan.
Orang berlomba-lomba menunjukkan kecintaannya dan rasa memiliki terhadap Korsel. Saat memakai produknya, mereka merasa bangga. Di titik inilah, industri kreatif bukan lagi sekadar bisnis yang diperjualbelikan, melainkan telah menjadi gaya hidup suatu negara yang diterima secara luas.
Industri kreatif mampu menyumbang sumbangsih besar pada daya tawar sebuah negara. Sepertinya, industri kreatif mulai menjadi primadona pemerintah dalam memanfaatkan kekuatan lunak (soft power) untuk merebut pangsa pasar.
Lalu, banyak orang berangan-angan, ”Seandainya saya orang Indonesia....”
Lebih maju
Mari sejenak melihat kondisi saat ini. Industri kreatif semakin digiatkan mengingat ranah ini menyumbang persentase yang tidak sedikit pada perekonomian. Hal ini terbukti dari prioritas pembangunan di sektor pariwisata dan kebudayaan yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia.
Usaha mengelola kekayaan kreatif terlihat dari didirikannya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tahun 2015. Dari 16 subsektor, Bekraf fokus pada beberapa sektor yang menyumbang pendapatan terbesar, seperti kuliner, fashion, dan kriya. Ambisi para pemain baru pun bermunculan, terutama bidang desain komunikasi visual dan aplikasi digital.
Di sisi lain, beberapa kendala mungkin dapat mematahkan semangat generasi muda. Survei Khusus Ekonomi Kreatif, Bekraf menyebutkan beberapa kendala industri kreatif seperti kurangnya bantuan modal, rendahnya edukasi dan riset, hingga permasalahan infrastruktur. Bahkan, hampir 90 persen pelaku kreatif belum memiliki Hak Kekayaan Intelektual (Bekraf dan Badan Pusat Statistik, 2017).
Di masa depan, Indonesia bisa menjadi negara terdepan yang mengandalkan industri kreatifnya. Dalam kurun waktu sekitar 30 tahun, bukan tidak mungkin, industri kreatif Indonesia akan menopang sebagian besar beban perekonomian negara.
Tugas generasi muda paling penting adalah menjadi garda terdepan untuk memastikan kesiapan ketiga aspek, yaitu produksi, distribusi, dan pencarian konsumen global. Percuma saja, jika terdapat kerja sama bilateral, tetapi Indonesia belum siap.
Karena itu, penting bagi generasi muda mengenal potensi industri kreatif di daerah masing-masing. Setelah itu, menciptakan inovasi agar dapat memasarkan produk sehingga mudah dilirik negara-negara lain.
Tantangan terbesar adalah bagaimana kemampuan generasi muda menggerakkan, mengikat kebinekaan, dan keragaman produk kreatif dalam satu label, yakni Indonesia. Sejalan
dengan itu, pemberlakuan hak cipta dan merek harus diusahakan agar industri kreatif Indonesia tidak kehilangan identitasnya. Hingga akhirnya, generasi muda dapat memasarkan produk kreatifnya sampai ke mancanegara.
Saya optimistis kesuksesan bisa diraih. Salah satu keunggulan generasi muda adalah sikap keterbukaan dan penghargaan yang tinggi terhadap kreasi seni, budaya, dan teknologi. Bekal inilah yang harus terus dibawa generasi muda.
Dua puluh delapan tahun lagi, semoga saya dan generasi milenial dapat membawa industri kreatif Indonesia bisa dinikmati di seluruh dunia. Hingga akhirnya, orang-orang berdecak kagum sambil berkata, ”Coba seandainya saya orang Indonesia....”
Penulis: Michelle Marietta Secoa, Alumnus Universitas Indonesia, Tinggal di Tangerang Selatan, Banten