Pengalaman Tak Terlupakan di Baduy
Berbagai cara dilakukan institusi pendidikan agar siswanya bisa menjadi pribadi yang toleran, seperti yang diadakan SMA Kolese Kanisius Jakarta dengan cara live in. Tahun ini, ada 14 tempat yang dipilih sekolah, seperti pesantren dan sekolah agama lainnya.
Sebanyak 39 siswa dengan dua guru mendapat kesempatan tinggal bersama masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam di Kanekes. Kami merasakan kehidupan warga yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan pada 24-27 Oktober 2017.
Sekolah berharap agar kami sebagai generasi milenial dapat mengalami, merasakan, dan menyikapi perbedaan yang terasa begitu nyata. Indonesia memiliki keberagaman yang sebenarnya dapat menjadi penguat persatuan.
Perjalanan kami ditempuh menggunakan kereta dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung yang ditempuh dalam waktu dua jam. Lalu, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan sewa menuju Desa Ciboleger. Dari desa itulah, kami mulai langkah kami memasuki kawasan masyarakat Baduy Luar.
Kami yang berasal dari kota memiliki impresi yang berbeda dan segalanya terasa baru. Penduduk Baduy Luar menggunakan pakaian adat dengan warna biru dan hitam, sedangkan penduduk Baduy Dalam memakai warna putih. Berbeda dengan kami, yang bebas memakai baju warna apa saja.
Bertemu tokoh adat
Selama berada di Baduy Dalam, kami sempat bertemu dengan tokoh adat. Salah satunya adalah Kang Mursid yang mau berbincang-bincang dengan kami. Dia menjelaskan kebudayaan Baduy yang dilihat dari segi kependudukan, adat, dan lingkungan alam.
Jumlah penduduk di wilayah Baduy mencapai 11.713 orang yang terbagi ke dalam 65 kampung. Tiga kampung di antaranya merupakan wilayah Baduy Dalam, yaitu Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikesiuk. Setiap kampung dikepalai oleh pu’un, yaitu pemimpin adat. Pemimpin adat ini dibantu tokoh lain yang disebut jarotangtu, girang seurat, baresan, dan pewari adat.
Penduduk Baduy Dalam pun memiliki aturan adat yang berlaku untuk warganya. Salah satu aturannya yaitu warga tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor. Ke mana pun mereka pergi harus berjalan kaki. Karena itu, udara di Baduy terasa sejuk dan bersih, tanpa polusi udara.
Keunikan lainnya, mereka menggunakan sawah hujan untuk sistem pertaniannya. Sawah diairi hanya mengandalkan air hujan. Penanaman padi mengikuti kontur tanah sehingga efisien dan produktif karena tidak ada tempat yang kosong. Lahan yang ada bukan hanya ditanami padi, melainkan juga jagung dan sayur-sayuran lain.
Melestarikan lingkungan
Perjalanan ini semakin menarik ketika kami berjalan selama tiga setengah jam dengan kontur tanah yang meliuk-liuk menuju kawasan Baduy Dalam, tepatnya di Kampung Cibeo. Kampung itu masih mempertahankan keasliannya dengan tidak menggunakan segala macam cairan kimia, seperti sabun, sampo, dan pasta gigi untuk mandi.
Penduduk Baduy Dalam percaya penggunaan cairan kimia bisa merusak sungai. Apalagi, mereka menggunakan air sungai untuk diminum. Air yang begitu jernih memang sudah dijaga sejak dulu hingga sekarang. Kami pun merasa kagum dengan kesungguhan penduduk yang sangat menjaga kebersihan.
Seluruh sampah diletakkan di tempatnya sehingga tidak mengotori pemandangan yang begitu indah. Bahkan, kotoran ayam yang berceceran pun selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang menyengat.
Melalui perjalanan singkat ini, kami menjadi semakin memahami bahwa masih ada penduduk Indonesia yang peduli terhadap kelestarian alam. Kami perlu belajar banyak dari kehidupan penduduk Baduy yang selaras dengan alam.
Empat hari tiga malam membuat kami semakin peka terhadap lingkungan yang beragam. Kami hendaknya menjaga keberagaman ini sebagaimana penduduk Baduy menjaga keberagaman alamnya yang begitu kaya. Generasi milenial harus bergerak untuk merawat keberagaman ini!
Penulis Tim SMA Kolese Kanisius Jakarta:
Benediktus Tandya Pinasthikau Bonifasius Yohan Panduu Louis Kevin Kurniawan u Rafael Bagaskoro Abimanyu