Argumentasi
Setelah anak masuk sekolah tersebut, ada yang mampu mengikuti pelajaran secara normal, seperti anak yang diterima lewat pendaftaran murni. Namun, ada juga yang tertekan dan tertinggal jauh dari teman-temannya, sampai-sampai tidak naik kelas.
Mewarisi Kesalahan
Sekarsari, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang
Membincang kenakalan orangtua, saya teringat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Waktu itu ibu sedang mengendarai sepeda motor dan saya membonceng di jok depan. Di perempatan jalan, lampu lalu lintas sedang bernyala merah. Meskipun begitu, ibu menerjang rambu tersebut. Mungkin ibu sedang buru-buru. Beruntung tidak ada kendaraan dari arah berlainan yang melintas pada waktu bersamaan.
Biasanya anak akan melihat bagaimana orangtua berperilaku. Sayangnya, kecenderungan untuk melanggar aturan kerap dianggap sepele oleh orangtua. Disadari atau tidak, anak akan menangkap setiap hal-hal kecil yang mereka dapat kemudian disimpan sebagai memori. Bisa saja anak akan mempraktikkan pelanggaran itu di masa depan. Akibatnya, ”tradisi” seperti melanggar rambu lalu lintas diwarisi kepada generasi selanjutnya.
Biaya Seikhlasnya
Rizki Nugraha, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
Saya pernah mengalami kenakalan orangtua. Saat itu, saya hendak mengambil kartu tanda penduduk elektronik di kantor kecamatan. Saya ingat, di kantor itu ada slogan tertulis ”Anti Pungli” dan ”Jangan Memberikan Uang kepada Petugas”.
Saat saya menerima KTP elektronik yang sudah jadi, petugas meminta dana administrasi seikhlasnya. Saya bingung. Kenapa pembuatan KTP elektronik yang seharusnya gratis ditagih biaya administrasi. Lagi pula, dana seikhlasnya itu tidak tahu untuk apa.
Mungkin itu salah satu kenakalan orangtua, yang bisa disebut oknum. Hal itu bisa berakibat buruk karena sering terjadi di banyak tempat. Masyarakat menjadi terbiasa dan memaklumi. Hal itu membuat pemberantasan praktik suap-menyuap ataupun pungutan liar semakin sulit.
Menabrak Tembok
Hanif Amrullah Mutaqin, Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Semarang, Magelang
Kenakalan tak hanya milik remaja, tetapi juga menjangkiti orang tua. Suatu hari, saya bertemu dengan tetangga dekat rumah. Dia sering jalan dengan perempuan lain meski sudah berkeluarga. Dia juga sering minum minuman keras.
Suatu malam, dia hendak pergi tetapi sepeda motornya rusak. Dia meminjam sepeda motor milik bapak saya. Dia bilang ke bapak bahwa malam itu ada keperluan dan akan mengembalikan sepeda motor keesokan paginya.
Tengah malam, saya terbangun karena mendengar ribut-ribut di rumah. Ternyata orang rumah mendengar kabar kalau tetangga saya ini jatuh menabrak tembok. Akhirnya, saya dan bapak menjemputnya. Ternyata, tetangga ini bawa sepeda motor dalam kondisi mabuk dan memboncengkan perempuan.
Melihat bapak datang ke lokasi kejadian, tetangga ini menunduk malu. Bapak mengingatkan dia bahwa tindakannya meresahkan warga setempat, apalagi dia sudah punya keluarga. Tetangga saya menangis teringat anak dan istrinya dan berjanji tak akan mengulangi perbuatan itu lagi. (Hei/Sie)