Masa Muda, Masa Bersukaria
Adegannya di kamar kos yang lumayan lega. Lima pemuda dan satu pemudi sedang kumpul- kumpul. Masing-masing sepertinya sedang asyik dengan benaknya sendiri. Tokoh utama kita, Soleh (Soleh Solihun), sedang rebahan di kasur memeluk gitar, sesekali memetiknya. Matanya mengawang. Adegan itu dilatari lagu ”Statis”, milik band Plastik.
”Terbangun di pagi ini, jalani hari seperti kemarin. Tak pernah ada yang menyenangkan. Lewati hari percuma… seakan hanya berhenti di sini,” begitu nyanyi lirik lagu yang beredar pada 1997 itu.
Tahun itu sesuai latar waktu film. Kegundahan lima sekawan; Soleh, Fay (Anggika Bolsterli), Eko (Awwe), Marsyel (Adjis Doaibu), dan Syarif (Panji Wattimena), begitu dramatis.
Posisi Jatinangor, tempat Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, pada masa itu jauh dari keramaian. Setidaknya begitulah yang disampaikan Soleh di luar film. Sepinya kecamatan di Kabupaten Sumedang itu tak terlalu tergambar dalam film, tetapi gurat kegundahan mereka cukup meyakinkan.
Sebelum sampai adegan itu, Soleh menelan pil pahit. Ia baru diajak bergabung di pers kampus yang menerbitkan majalah/buletin Fakta Jatinangor alias Fakjat. Majalah itu dipimpin Panji (Ronal Surapradja), senior sok galak tetapi populer. Isinya melulu hal-hal besar, wacana politik dengan judul yang selalu pakai kata serapan.
Soleh sepertinya salah tempat. Pemimpin redaksinya meminta usulan isu utama yang bakal mereka terbitkan di edisi berikut. Soleh, si anak baru, mengusulkan mereka mengulas kiprah band Bandung, Pure Saturday.
”Apa pentingnya mereka?” gugat si Pemred.
”Mereka satu-satunya band yang berhasil menjual ribuan keping kaset tanpa bantuan major label,” jawab Soleh. Ia disuruh membuktikan dengan menyanyikan lagu hitsnya. Liriknya bagus. Tetapi sayang, suaranya lempeng. Itu memperburuk suasana.
Argumen itu membentur tembok. Ia pun melirik kegiatan lain, mulai basket sampai kegiatan kerohanian. Ujung-ujungnya, Soleh bikin penerbitan sendiri bernama Karung Goni yang isinya sebagian asyik-asyik saja.
Lompatan karier
Edisi pertama Karung Goni memuat angan-angan Soleh menulis tentang band Pure Saturday. Berikutnya, ia mewawancarai beberapa band lainnya. Kelak dalam kehidupan nyata, Soleh jadi wartawan yang menulis industri musik dan hiburan. Belakangan dia malah jadi komik, penyiar radio, dan bintang film.
Soleh tidak sendirian menyutradarai film itu. Ada Monty Tiwa yang menjadi rekannya. Monty, pembesut film Sabtu Bersama Bapak (2016) dan Critical Eleven (2017) itu, awalnya mengambil peran di ranah teknis, sementara Soleh di lingkup artistik.
”Tetapi pembagian itu cuma bertahan dua-tiga hari pertama. Setelah itu, kami melebur,” kata Monty.
Menceritakan nostalgia diri sendiri lewat film mungkin belum tentu berhasil menggaet khalayak. Namun, jika yang dibagikan adalah memori kolektif macam keseruan perkuliahan atau memori dengan tembang- tembang sembilan puluhan, hasilnya bisa jadi lain.
Walau berasa komedi, film ini sarat drama; pencarian jati diri mahasiswa yang baru mengecap kebebasan sementara ia disodorkan pilihan-pilihan masa depan. Ada kebingungan dan keresahan di periode ini. Tetapi enggak usah pusing-pusing amat. Simak saja lagu bikinan band Laleleus Lalieur Paregel yang jadi soundtrack-nya: ”meungpeung ngora (selagi muda), hura-hura!” (HEI)