Menyulap Kain Tradisional Lebih Keren
”Kami memang memilih menyewa tempat di sini karena tidak ada syarat jumlah pakaian yang dipajang. Sebab, kami belum bisa memproduksi pakaian dalam jumlah yang banyak,” katanya.
Tahun 2015, Bella mengajak teman semasa SMA, Dyandrastra Mairavida dan Clara Christiani, untuk membuat usaha clothing line dengan bahan dasar kain tenun dari Flores. Bella terinspirasi dari usaha yang ditekuni ibunya sejak lama.
Setelah dua bulan berdiskusi, mereka bersama lima teman lainnya, Gabyta, Nindya, Sasha, Vanessa, dan Gregorita, mendirikan Copa de Flores. Tak mau berlama-lama, setelah berhasil memproduksi beberapa pakaian, mereka langsung mengikuti pameran. Hasilnya, semua pakaian habis terjual.
”Kami sih nekat saja bikin desain pakaian anak muda dengan kain tenun. Dyandra yang bikin desainnya lalu kami memilih kain yang cocok untuk dipadukan dengan kain tenunnya. Beberapa kali juga mencari penjahit yang sesuai dengan keinginan kami,” kata Bella.
Bagi generasi muda, tak mudah mendirikan usaha sendiri dengan mengeluarkan modal yang cukup banyak. Modal yang dikeluarkan pertama kali sekitar Rp 30 juta. Berbagai tantangan mereka hadapi, dari mulai pemilihan kain yang bagus, mencari penjahit, sampai dengan pemasaran. Untuk kelancaran usahanya, Bella mengajak satu teman lagi, Nabila, yang membantu untuk mengurusi bagian keuangan.
”Kami pernah mencoba mencuci pakaian yang sudah dijahit, tetapi ternyata luntur sehingga tidak bisa dijual,” ujar Bella.
Bukan hanya sekadar mengeluarkan koleksi pakaian yang cocok dengan generasi muda. Copa de Flores membuat tema untuk setiap keluaran terbarunya. Akhir pekan ini, mereka akan meluncurkan koleksi Siruwisu yang memadukan kain tenun dan kain denim.
”Koleksi kali ini, kami ingin menggambarkan tentang kebebasan berkreasi. Setiap enam bulan, kami mengeluarkan koleksi terbaru dengan desain berbeda. Biasanya, satu desain hanya diproduksi 12 pakaian,” kata Dyandra yang bertugas menjadi desainer.
Membuat alat pemintal
Di sisi lain, mahasiswa Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Muhammad Adrian Ilman (22), melakukan hal yang berbeda. Dia terjun langsung untuk memasarkan kain tenun Flores yang dimulai secara tidak sengaja.
Tahun 2008, ia bersama kakak alumninya berkunjung ke Maumere, NTT, untuk sebuah proyek. Seminggu berada di sana membuat Adrian melihat para ibu menenun kain khas mereka.
”Ternyata membuat kain menjadi cara para ibu untuk mencari uang untuk bisa membiayai sekolah anaknya. Jadi, hasil kain dijual untuk membayar biaya sekolah,” ujar Adrian.
Melihat pentingnya kain untuk kehidupan warga, ia menelisik lebih jauh hasil tenun, alat tenun, mesin pemintal benang, jenis benang, pewarna alami, hingga pemasarannya.
”Saya melihat kualitas hasil kain berbeda-beda. Benangnya kasar dan kaku serta hasilnya sulit dipasarkan, padahal kain menjadi andalan mereka,” katanya.
Sejak itu, dia malah memikirkan cara membantu warga di sana. Ia pun mencari berbagai informasi terkait kain tenun dan pemasarannya. Terbetik di benaknya juga untuk membantu membuatkan alat pemintal benang yang lebih modern. Sayangnya, alat pemintal bikinannya belum bisa dipakai karena masih harus disempurnakan agar bisa dipakai di Flores.
Sambil menyempurnakan alat pemintal tersebut, Adrian menggandeng Etih Suryatin untuk membantu pemasaran kain tenun. Mereka mendirikan usaha bernama Niora yang menjadi wadah untuk memasarkan kain karya perempuan Maumere dan sekitarnya.
”Untuk membantu mereka, saya harus tahu semua hal berkait tenun dan pembuatannya. Dengan mengenalkan tenun Flores keluar daerahnya, saya sekalian bisa mencari masukan kebutuhan konsumen seperti apa sehingga bisa menyinkronkan kebutuhan dengan pembuatan,” kata Adrian.
Bukan sekadar memasarkan kain tenun, Adrian juga memikirkan memberi nilai tambah untuk kain tenun itu. Mulailah dia bekerja sama dengan perajin kulit asal Garut, Jawa Barat, untuk membuat tas dan dompet dari kulit berkombinasi tenun Maumere. Ia juga membawa benang rajut untuk ditenun menjadi syal dengan motif khas Flores Timur dan Tengah.
”Barang-barang tersebut disukai oleh pembeli. Perjalanan masih jauh, tetapi saya tetap membantu ibu-ibu di Flores,” ujar Adrian.
Menenun ulap doyo
Nah, beda lagi yang dilakukan Tilita Renata (27) dari Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Meski sejak kecil melihat ibunya menenun kain (ulap) doyo, Tilita belum tertarik mempelajari dengan saksama kerajinan khas sukunya, Dayak Benuaq.
Kesadaran pentingnya belajar menenun dan mengenal kain adat baru muncul enam tahun terakhir ketika bertemu dengan seorang perempuan yang mempunyai alat tenun yang berkarat di gudang. Hatinya tersentak, kalau tidak ada lagi orang yang mau menenun, bagaimana dengan nasib ulap doyo peninggalan leluhur?
Sejak itu, Tilita belajar menenun lebih serius. Dia juga mencermati cara ibunya membuat pewarna kain dari berbagai tanaman di dekat rumahnya. Selain itu, dia juga belajar membuat benang dari tanaman doyo yang banyak terdapat di ladang di desanya, Tanjung Isuy, Kutai Barat.
”Sebenarnya sejak kecil saya sudah bisa menenun karena setiap hari melihat mama menenun di rumah. Itu sebabnya, saya tidak perlu waktu lama untuk belajar membuat kain. Kesulitannya kalau benang putus dan alat tenun terlepas. Itu saya perlu minta tolong mama,” ujar cewek alumnus Akademi Gizi Andalusia, Jakarta, ini.
Ahli gizi yang kini menjadi pegawai kontrak di Puskesmas Tanjung Osuy ini menggunakan waktu sepulang kerja untuk belajar menenun dengan serius. Dalam tempo tiga bulan, ia sudah lancar melakukan proses produksi pembuatan kain doyo. Semula, dia hanya ingin menjaga kelestarian ulap Doyo dengan cara memproduksi kain khas sukunya. Apalagi, ibunya, Arena (53), sudah bertahun-tahun menenun ulap doyo.
Jika ibunya memasarkan kerajinan kain karyanya di rumahnya, Tilita punya cara berbeda. Ia menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram, untuk memasarkan kain buatannya. Tak cukup di situ, dia membuat tas dan berbagai aksesori, seperti gelang, kalung, dan anting dari ulap doyo.
”Harga kain di atas Rp 700.000 per lembar. Saya pikir perlu membuat benda selain kain yang harga jualnya tak semahal kain,” katanya. Maka, dia membuat tas sampai anting dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 300.000. Dagangan aksesori lumayan laris, bahkan sering kehabisan stok.
Pemasaran secara daring membuat orang mengenal keberadaannya sehingga dia mendapat tawaran untuk berpameran di Jakarta. Bahkan, suatu hari dia diajak Non-Timber Forest Products, lembaga yang mendukung produksi benda hasil hutan nonkayu, untuk berpameran di luar negeri. Tilita pernah berkunjung ke Singapura, Malaysia, dan Filipina untuk mengenalkan ulap Doyo.
Tentunya, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk ikut melestarikan kain tradisional. Harapannya, semua kekayaan budaya Indonesia bisa terjaga dengan baik. (TRI/SIE)