Politik Sebenarnya Kaum Muda
Politik praktis yang cenderung mempertontonkan rebutan kekuasaan beberapa tahun terakhir ini membuat kaum muda kecewa. Mereka pun mengembangkan ”gerakan politik” sendiri agar suara mereka bisa didengar dan harapan serta mimpi mereka bisa diwujudkan.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pekan kedua Desember 2017 yang digelar di kalangan mahasiswa, anak muda memersepsikan politik dengan nada yang negatif. Begitu disodorkan kata politik, sebagian besar mengaitkannya dengan rebutan kekuasaan, korupsi, dan kebohongan. Hanya sekitar 18 persen yang menyandingkan kata politik dan demokrasi. Wajar jika kaum muda berpikir seperti itu. Bagaimana tidak, kasus korupsi yang melibatkan elite politik terus berlangsung. Intrik politik, pernyataan politisi dan agen-agen yang memecah belah terus disebarkan hingga ke ruang-ruang pribadi.
Politik praktis menjadi berjarak dengan anak muda. Apalagi hampir tidak ada partai politik mapan yang memperjuangkan kepentingan dan harapan kaum muda. Mereka hanya datang menghampiri dalam rangka mendulang suara.
Survei Kompas menunjukkan, kaum muda merasa praktik politik semacam itu jauh dari tujuan politik yang sebenarnya, yakni menciptakan kehidupan bersama yang lebih sejahtera, adil, dan menjamin kebebasan.
Kaum muda merasa praktik politik semacam itu jauh dari tujuan politik yang sebenarnya, yakni menciptakan kehidupan bersama yang lebih sejahtera, adil, dan menjamin kebebasan.
Meski geregetan, kecewa, bahkan marah terhadap politik praktis yang melulu hanya mempertontonkan perebutan kekuasaan, anak muda tidak memilih sikap apatis. Mereka tidak lari dari persoalan, melainkan bergerak memanfaatkan ruang-ruang untuk bersuara dan berkreasi yang masih tersisa. Sebagian anak muda bahkan menciptakan ruang-ruang baru untuk memperjuangkan kepentingan, harapan, dan mimpi mereka tentang Indonesia yang lebih baik.
Ketika negara tidak sanggup memberikan akses pendidikan untuk semua warga, sejumlah anak muda mendirikan sekolah gratis dan menyediakan buku untuk mencerdaskan anak- anak yang tinggal di pelosok desa. Ketika ujaran kebencian, fitnah, dan hoaks memenuhi ruang publik, banyak anak muda yang membuat gerakan melawan hoaks. Gerakan literasi dan antihoaks yang diinisiasi anak muda itu kini muncul di mana-mana, di dunia virtual dan di dunia nyata, di pelosok desa dan di sudut kota.
Kaum muda dengan kecerdasan, jejaring, dan penguasaan teknologi informasi yang mereka miliki juga membuat terobosan yang bahkan tak terpikirkan oleh generasi sebelumnya. Ada anak muda membuat aplikasi yang memudahkan petani mengakses pasar tanpa melalui tengkulak. Bahkan, ada yang menghimpun dana dari masyarakat lewat internet demi membantu orang- orang yang membutuhkan.
Di ranah budaya pop, anak muda semakin lantang bersuara dan kian tegas memperlihatkan sikap. Jika pada masa Orde Baru, musisi seperti Iwan Fals memotret birokrasi yang bobrok, ketimpangan sosial, wakil rakyat yang tidur saat sidang soal rakyat, musisi muda sekarang mengangkat isu yang lebih beragam dan detail, mulai dari reklamasi pantai, kotak suara, kepemilikan tanah, kedaulatan pangan, ketimpangan sarana transportasi antara Jawa dan Papua, hingga kampanye kontrasepsi.
Di dunia film, sutradara muda mengangkat kisah penculikan aktivis, relasi kuasa yang timpang di desa, dan perempuan yang berani melawan penindasan. Kisah-kisah itu menghadirkan wacana alternatif yang menandingi wacana dominan yang selama bertahun-tahun terpaksa kita telan.
Itulah politik sebenarnya yang dikembangkan kaum muda di tengah hiruk-pikuk elite politik yang sibuk berebut kekuasaan. Politik versi kaum muda itu adalah politik yang membumi, menghadirkan ruang diskusi, dan memberi ruang pada perbedaan. Politik yang sebenarnya inilah yang akan mengantarkan bangsa ini pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. (BSW)