Argumentasi
Gawai Versus Ibu
Fania Galuh Fukirasih, Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang, Kampus V Magelang
Lupa Belajar
Konstantinus Sirilus Jehuma Duhar, Jurusan Filsafat Keilahian Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
Saya mengenal internet sejak SMP. Internet membuat saya lupa belajar. Setiap hari saya selalu meluangkan waktu untuk menggunakan internet. Saya merasa kesepian dan menyesal kalau seharian tidak menjelajah dunia digital. Tidak belajar sehari, saya tidak kecewa. Tanpa internet sehari, menyesal rasanya.
Prestasi saya pun turun. Kondisi fisik saya, seperti berat badan, berkurang karena lupa makan. Saya menderita darah rendah dan sering tidur larut malam. Di sekolah, saya tidak mengikuti kegiatan belajar dengan baik. Separuh dari proses belajar itu saya pakai untuk internet. Tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Terasa lama bagi saya waktu dua jam untuk belajar satu mata pelajaran di sekolah. Saya juga sering melamun saat kegiatan belajar berlangsung.
Relasi saya dengan keluarga satu rumah juga terbatas. Saya menghabiskan waktu untuk berkomunikasi dengan orang yang berada jauh via internet. Sementara itu, untuk komunikasi langsung dengan keluarga sering malu-malu. Ayah sering marah melihat perilaku saya ini. Namun, saya mengabaikan nasihatnya dan menjawab, ini kebiasaan di zaman modern. Kondisi itu membuat saya akhirnya menyesal.
Pacar Baru
Taufik Fauzi, Program Studi Agroteknologi Paralel Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Sejak awal memiliki gawai, banyak sekali perubahan yang saya alami. Saya senang melihat media sosial walau tidak mengunggah setiap hari. Saya bisa mengetahui aktivitas orang lain bahkan yang tak saya kenal dengan leluasa. Tiap detik saya fokus ke gawai, termasuk saat makan, minum, rapat, kuliah, di toilet, bahkan tidur. Sangat menyita waktu, tetapi saya menganggap hal itu seru dan menyenangkan.
Bagi saya, gawai mirip pacar. Saya tak sanggup kehilangan dia. Kesal melihat saya terlalu asyik dengan gawai, orangtua marah dan membanting satu-satunya gawai saya. Kemudahan mengakses dan menyimpan konten terlarang juga pernah membuat orangtua membakar gawai saya.
Selain bak pacar, gawai zaman sekarang lebih up to date ketimbang pacar, lebih nyaman, lebih setia, lebih mengerti saya ketimbang orang lain. Namun, pengalaman masa lalu membuat saya lebih berhati-hati. Senang bermain gawai boleh, tetapi harus selalu ingat waktu dan aturan mainnya.
Bagian Hidup
Ahmad Mujib, Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muria Kudus, Kudus
Bagi saya, gawai bagian dari kehidupan sehari-hari. Bangun tidur, pertama mencari gawai dan melihat media sosial. Di kamar mandi pun gawai tidak ketinggalan untuk memperbarui status di media sosial sampai bermain game.
Ke mana pun pergi, gawai adalah benda paling penting melebihi dompet dan seisinya atau kunci sepeda motor. Pernah di tengah perjalanan menuju kampus, saya baru ingat gawai tertinggal di rumah. Saya panik dan langsung berbalik arah pulang untuk mengambil gawai. Saya tidak peduli bakal telat kuliah.
Di kelas, gawai adalah penyelamat karena bisa menjadi kalkulator yang penting untuk studi akuntansi. Gawai juga membantu saat presentasi. Saat ini, saya menyukai game online melebihi suka ke pacar. Saya membeli gawai dengan RAM besar agar saat main game lancar tanpa gangguan yang membuat saya terdepak dari permainan. Jika tahu menggunakan dan memanfaatkan, gawai akan berdampak positif. Sebaliknya, jika terhanyut, akan merasakan dampak negatif. (TIA)