Saya sedih banget kalau sampai tidak punya telepon pintar dan tidak bisa mengakses internet,” kata Tiya Farisa Agustin, mahasiswa semester VI Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, di Bogor, Kamis (28/12).
Mahasiswa asal Pare, Kediri, Jawa Timur, itu memiliki telepon genggam pertama kali saat menjelang lulus SMA. Dia susah payah menabung selama tiga tahun untuk membeli telepon genggam seharga Rp 2,4 juta. Sayang, kegembiraannya memiliki benda tersebut hanya sebentar karena seminggu setelah dibeli, benda itu hilang. ”Saya tidak tahu apakah ketinggalan, jatuh, atau dicuri. Tiba-tiba lenyap tanpa jejak,” ujar Tiya.
Kala itu dia belum memanfaatkan betul aplikasi yang ada di telepon genggam tersebut. Tak lama kemudian, dia mendapat penggantinya, telepon seluler bekas dari ibunya yang mendapat barang tersebut dari atasannya. Tiya mengaku, pada awal memiliki telepon genggam ia sangat kecanduan. Dia mencoba semua aplikasi dan asyik melihat hasil unggahan teman-temannya di media sosial. Tiada hari tanpa gawai dan internet.
”Sekarang saya lebih sering menggunakan telepon pintar untuk mengetahui tugas kuliah dari dosen melalui grup percakapan. Saya juga memanfaatkan gawai untuk belajar bahasa asing,” ujar Tiya yang kini tengah mempelajari bahasa Perancis.
Pradita Dyah Ayu Wulan Sasmi, mahasiswa Program Studi D-3 Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang (Jawa Tengah), Kampus V, Magelang, menceritakan, salah seorang anak tetangganya dikeluarkan dari sekolah karena mengunggah konten porno ke media sosial. Itu sebabnya ketika dia masih SMP dan meminta sang ibu membelikan telepon pintar tidak langsung dikabulkan. Dia harus menunggu sampai lulus SMA, sama seperti kedua kakaknya. Mereka boleh memiliki telepon pintar jika sudah mengerti sisi positif dan negatifnya. ”Ibu ingin kami semua, anak-anaknya, terhindar dari penyalahgunaan teknologi,” kata Pradita.
Putri Intan Permatasari, mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur, mengakui, gawai sangat mudah dibawa ke mana-mana, termasuk ke kamar kecil. ”Buka gawai di toilet bisa sambil mencari ide, membaca e-book, sampai berpikir,” katanya.
Lain halnya dengan Ahmad Viqi Wahyu Rizki, mahasiswa Program Studi Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dia sengaja membatasi aplikasi di telepon pintarnya agar tidak terlalu kecanduan gawai.
”Saya pernah kecanduan gawai dan internet karena saya senang membaca konten berita dan segala macamnya. Ke mana pun pergi selalu saya bawa, termasuk ke kamar mandi. Saking asyiknya, sampai hampir lupa makan dan shalat,” ujar Ahmad.
Tiya, Pradipta, Putri, dan Ahmad adalah segelintir orang dari 3,8 miliar pengguna internet di dunia berdasarkan data internetworldstats.com. Sejauh ini, negara pengguna internet terbanyak adalah China (731,4 juta), India (462,1 juta), Amerika Serikat (286,9 juta), dan Brasil (139,1 juta). Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia, yakni 132,7 juta atau setingkat di atas Jepang. Berarti 50,4 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet.
Survei APJII 2016 memperlihatkan, masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk keperluan akses berita (25,3 persen), terkait pekerjaan (20,8 persen), mengisi waktu luang (13,5 persen), sosialisasi (10,3 persen), terkait pendidikan (9,9 persen), serta bisnis, berdagang, cari barang (8,5 persen).
Kalau kalian paling banyak menggunakan internet dan gawai untuk apa? (TIA)