Argumentasi
Kekhawatiran Orangtua
Namun, ternyata ibu saya mengkhawatirkan hal berbeda. Ibu lebih sering mengingatkan saya agar tidak salah memilih pasangan, padahal hal itu belum terpikirkan oleh diri saya.
Menjadi Orang Baik
Hanif Dirma, mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar, Sumatera Barat
Saya enggak ambil pusing mau menjadi apa nanti. Di zaman seperti ini, saya bisa mencari informasi sebanyak mungkin melalui internet. Usaha yang kulakukan sebagai pekerjaan yang harus dijalankan maksimal. Pengalaman bekerja harus ada, tetapi yang terpenting bagi saya adalah menjadi orang baik. Tidak menyusahkan orangtua saja sudah sangat cukup. Bersyukur sekali jika mampu menolong orang sekitar, keluarga maupun masyarakat.
Teringat kata ibu saya, ”Enggak perlu jadi orang besar, jadi tukang becak bolehlah, asalkan tukang becak yang baik-baik dan seterusnya.” Memang, orangtua saya tidak menuntut kepada anak-anaknya mau jadi apa.
Saya percaya, jika saya sering menolong atau membantu orang yang sedang kesusahan, maka saya akan mendapat pertolongan setimpal di kemudian hari. Yang jelas, perbuatan baik akan dibalas dengan perbuatan baik dan akan memperlancar, mempermudah segala urusan di kemudian hari.
Persaingan Ketat
Muhammad Husein Heikal, Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara
Generasi milenial acap kali disebut-sebut sebagai generasi yang punya ide-ide cemerlang, inovatif, kreatif, dan tentunya progresif. Untuk menunjang itu semua, faktor efisiensi dan efektivitas menjadi prioritas.
Namun, semua gebrakan itu juga memunculkan fenomena disrupsi yang menghantam pasar yang sudah ada. Ini menjadikan persaingan kian mengetat. Generasi milenial harus membuktikan dirinya lewat kualitas yang benar-benar mumpuni.
Kabar baiknya, generasi milenial dapat mengisi dan menjadi bagian dari skema perekonomian. Ini telah terlihat dari munculnya berbagai inovasi, seperti toko dan transportasi daring ciptaan anak negeri. Saya rasa sudah saatnya kini menjadi era ekonomi generasi milenial yang merespons dengan cepat berbagai kebaruan untuk tujuan bersama yang lebih baik.
Milenial yang Bermoral
Mad Yahya, Program Studi Sastra Inggris Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Berbagai kebijakan pemerintah dilakukan guna menyiapkan para calon pemimpin masa depan, mulai dari bantuan biaya pendidikan, beasiswa, sertifikasi pengajar, dan sebagainya. Namun, ada
satu hal penting yang kerap kali diabaikan dan hanya menjadi bahan perbincangan angin lalu. Kebanyakan orang, ketika berbicara tentang generasi milenial, yang dipandang hanya sisi kecerdasan intelektual, penguasaan teknologi, kemajuan sains, dan sebagainya.
Mereka melupakan satu sisi pembangunan dasar manusia, yang dikatakan pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia. Apakah proses memanusiakan manusia ini hanya bisa didapatkan melalui kecerdasan intelektual? Tentu tidak. Ada sisi lain yang ikut menjadi kunci penting keberhasilan pendidikan, yaitu pendidikan moral dan spiritual.
Sepatutnya pemerintah juga memperhatikan sisi pembangunan manusia, baik melalui kurikulum pendidikan maupun cara pengembangan lain. Misalnya, lewat pesantren yang intinya menjadikan generasi muda cerdas, kreatif, dan bermoral. (TRI)